TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pamor, gengsi, dan besar nyali, menjadi modal utama para pebalap liar ketika beraksi.
Mereka sama sekali acuh terhadap bahaya, memacu sepeda motor pada kecepatan maksimal, tanpa perlengkapan keselamatan apapun.
Kerap disaksikan aksi mereka terkadang cuma mengenakan kaos, celana pendek, dan sendal jepit.
Padahal, pebalap sekelas Valentino Rossi saja harus "full gear" ketika balapan, sehingga memang aksi balap liar membahayakan jiwa.
Lantas, mengapa "penyakit masyarakat" ini terus saja muncul dari waktu-ke-waktu, meski sudah berganti generasi ?
Alasan utama tidak setujunya para pebalap liar diitertibkan adalah masalah penghasilan.
Sebab, sudah menjadi "rahasia umum" kalau praktik balapan liar merupakan ajang taruhan atau ladang berjudi.
Arif Setiawan, salah seorang pebalap liar di Jakarta, mengaku dalam melakukan aksinya di jalan, ia bisa meraup uang mulai dari Rp 10 juta-Rp 50 juta, selama balapan 20-30 menit.
“Ini sudah bukan rahasia lagi, sekali menang bisa puluhan juta rupiah. Itupun dalam waktu yang cukup singkat,” kata Arif dihadapan para polisi dan perwakilan daerah DKI Jakarta, di Aula TMC Polda Metro Jaya, Selasa (12/1/2016).
Sumantri dari Biro Organisasi Ikatan Motor Indonesia (IMI) DKI Jakarta, mengatakan, praktik judi merupakan tindak pelanggaran hukum dan norma agama.
Tapi, jika dibandingkan dengan pebalap profesional, jumlah yang diperoleh pebalap liar nilanya belum seberapa.
“Anda tahu pebalap nasional sekali tanda tangan kontrak berapa nilainya? Mencapai Rp 1,5 miliar. Anda tidak mau seperti itu,” kata Sumantri.
Sumantri melanjutkan, dengan penertiban dan penyediaan lahan resmi untuk balap, maka kesempatan bibit-bibit pebalap muda jadi makin terbuka.
Siapapun pebalap liar yang berprestasi punya kesempatan untuk sukses.
“Sponsor-sponsor akan berdatangan. Anda tidak mau mendapatkan gaji perbulan dan fasilitas-fasilitas menarik lainnya. Daripada kejar-kejaran dengan petugas, maka kita siapkan tempatnya,” ujar Sumantri.