TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Direktur PT Mabua Motor Indonesia (Mabua) Djonnie Rahmat untuk curhat dan membuka ”dapur” secara terang-terangan soal penutupan APM Harley.
Djonnie berusaha menampik tuduhan miring ke Mabua yang dianggap punya margin (keuntungan) sangat besar.
”Saya dengar seperti itu. Saya katakan di sini, harga pabrik pada dasarnya sama, yang membedakan adalah sistem tarif, perpajakan, dan logistik,” ujar Djonnie.
Dia lantas membeberkan di Indonesia, peraturan-peraturan untuk importir moge begitu berat. Pajak dan tarif masuk mencapai 300 persen dari harga dasar. Itu pun belum ditambah Bea Balik Nama (BBN).
Sementara pajak di negara lain (untuk impor moge) rata-rata di bawah 10 persen.
”Sebenarnya margin di luar negeri wajarnya 35 persen. Untuk kami, margin 5-7 persen saja sulit. Karena kami punya hati. Kami tidak utamakan jualan, tapi kebersamaan. Bisa murah, sim salabim, tak bayar pajak, sampai garasi. Tapi itu tidak dilakukan Mabua,” ucap Djonnie.
Karena pajak yang terlampau tinggi itulah, Mabua menerapkan kebijakan batas atas.
Djonnie mengatakan tidak mungkin ambil untung banyak sementara harga motornya sudah berlipat-lipat karena pajak.
Belum lagi penurunan nilai tukar rupiah sampai 40 persen, membuat stok yang dibeli dengan dollar AS, harus dijual merugi.
”Kami ingin menampung keinginan banyak orang punya Harley-Davidson. Bahkan karyawan beli Harley cuma bayar 50 persen. Apakah itu untung? Tidak. Kami ingin merealisasikan orang yang jatuh cinta untuk terlibat, bisa menikmati,” kata Djonnie.