TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Karopengmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Rikwanto memahami kekhawatiran perusahaan pembiayaan ketika banyak debiturnya yang menunggak angsuran bahkan alami kredit macet.
Namun ia tidak membenarkan ketika perusahaan pembiayaan menggandeng pihak ketiga dalam hal ini kelompok debt collectoruntuk melakukan eksekusi fidusia dengan cara-cara kekerasan dan melanggar hukum.
Ia mencontohkan, sejumlah aksi debt collector berujung pada ditersangkakannya para penagih utang itu ketika melakukan perampasan bahkan aksi kekerasan terhadap nasabah.
Bahkan, pernah ada nasabah yang hingga tewas karena dianiaya para debt collector.
"Misal saja dalam kasus kredit macet kendaraan. Kalau satu dua yang bermasalah mungkin tidak begitu berpengaruh. Namun jika yang nunggak ribuan kendaraan, itu nilai kerugiannya bisa puluhan miliar," jelas Brigjen Rikwanto dalam seminar bertajuk "Teknis dan Strategi Dalam Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia" di Balai Kartini, Selasa (26/9).
Tak ingin bisnisnya goyang, perusahaan pembiayaan kemudian menggandeng pihak ketiga untuk laksanakan penagihan atau eksekusi fidusia.
"Semisal Mata Elang beroperasi dengan mencegat di jalan. Secara strategi bagus bagus saja, tapi ada dramatisasi saat mereka mencegat. Ada yang pakai motor itu bukan yang punya, sehingga mereka berteriak-teriak, menimbulkan perkelahian bahkan ada yang berujung ke laporan kepolisian," jelasnya.
Oleah karenanya, Brigjen Rikwanto meminta perusahaan pembiayaan untuk mematuhi Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Fidusia agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan ketika proses eksekusi fidusia.
"Lembaga pembiayaan tidak ada perlindungan yamg memadai dan sangat rentan untuk gagal programnya. Adanya Perkap ini bisa jadi solusi kalau perusahaan finance bisa menjalankannya."