TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI) ikut menyoroti kasus kartel PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM).
Dengan adanya penolokan kasasi oleh Mahkamah Agung (MA), keduanya dikenai denda dengan besar Rp 25 miliar untuk Yamaha, dan Rp 22,5 miliar untuk Honda.
Namun denda yang dijatuhkan MA dianggap oleh YLKI masih terlalu kecil. Ketua Harian YLKI Tulus Abadi, mengatakan, bila sanksi tersebut tidak berarti apa-apa untuk sebuah perusahaan besar berskala multinasional.
"Idealnya denda dihitung berdasarkan persentase keuntungan yang diperoleh secara tidak wajar. Selain itu, tanpa diminta dalam putusan harusnya manajemen Yamaha dan Honda beritikad baik untuk menurunkan harga sepeda motor yang terbukti dinyatakan kartel (skutik 110-125 cc)," ucap Tulus dalam keterangan resminya, Rabu (8/5/2019).
Menurut Tulus, agar hukuman terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat memiliki efek jera dan bermanfaat bagi konsumen, YLKI akan meminta DPR melakukan revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Baca: Divonis Terlibat Praktik Kartel, Berikut Rincian Harga Skutik Honda dan Yamaha
Mengenai bentuk revisi yang diharapkan pun terbagi dalam tiga poin.
Pertama mengualfikasi tindakan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat sebagai bentuk tindak pidana, jadi hukumannya bukan hanya hukuman denda berupa uang saja,
Kedua, menjadikan bukti tidak langsung (indirect evidence) sebagai bukti atas dugaan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana model di Amerika Serikat.
Sedangkan yang ketiga, memasukkan pasal agar produsen yang dinyatakan bersalah (terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat) mengembalikan uang selisih kepada konsumen yang telah membeli produk tersebut.
Selain itu juga memasukkan pasal agar pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat, diwajibkan untuk menurunkan harga jual produk yang dipersekongkolkan tersebut.
"Selama ini berbagai kasus pelanggaran persaingan usaha tidak sehat tidak mempunyai manfaat langsung bagi konsumen karena tidak ada pengembalian uang kepada konsumen dan atau tidak ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk melakukan revisi harga, agar harganya lebih murah," kata Tulus.