News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penghapusan BBM RON Rendah Bisa Dilakukan, Asal Tak Langsung Diterapkan ke Semua Daerah

Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI - Awak Mobil Tangki (AMT) bersiap melakukan pengisian bahan bakar minyak ke dalam mobil tangki Pertamina di Terminal BBM Jakarta Group Plumpang, Jakarta Utara, Senin (27/11/2017).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia sudah komitmen menekan emisi karbon dalam Perjanjian Paris Tahun 2015, sayangnya bahan bakar minyak (BBM) RON rendah, seperti Premium, saat ini masih banyak dikonsumsi masyarakat.

Guru Besar Universitas Indonesia yang juga Rektor IT PLN Iwa Garniwa mengatakan, BBM ron rendah seperti Premium, diketahui bahaya bagi lingkungan juga tak bagus bagi mesin kendaraan.

BBM jenis ini bisa merusak lapisan ozon, juga kendaraan tak prima.

Karena itu, pemerintah perlu terus mendorong agar masyarakat menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, dengan ron tinggi. Apalagi, standar Euro4 saat ini sudah menjadi acuan gas buang bagi kendaraan bermotor.

Iwa Garniwa menyampaikan, penghapusan BBM ron rendah memang mendesak, namun harus tepat momentumnya. Nah, saat ini, di tengah tren masih terjadi penurunan harga minyak, dimana harga minyak dunia belum kembali ke titik tertinggi, kebijakan tersebut bisa diambil oleh pemerintah.

Baca: Pengamat: BBM Ron Rendah Bikin Gas Buang Kendaraan Penuh Polusi

“Menurut saya sekarang inilah saatnya, tapi digantikan dengan nama, misalnya Premium Ramah Lingkungan dengan harga yang tidak berubah mengingat harga minyak dunia sedang turun. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk mengubah konsumsi BBM nya pada BBM ramah lingkungan,” ujar Iwa, kepada media, Rabu (29/7/2020).

Baca: Saat Indikator BBM di Posisi E, Segini Isi Bahan Bakar Mobil

Iwa mengingatkan, dampak buruk Ron rendah selama ini diasumsikan tidak terlalu terlihat pada kendaraan dengan teknologi lama yang masih banyak di Indonesia, bahkan di jakarta.

Namun pada lingkungan akan menambah polusi udara khususnya di perkotaan. Persoalan polusi kendaraan ini akan menjadi bom waktu di masa depan, sehingga perlu diambil kebijakan radikal.

Sementara itu, Permen LHK No. 20/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, yang mensyaratkan standar emisi Euro4, bisa saja diterapkan namun tidak di semua daerah kota mengingat ada persoalan daya beli berbeda.

Ada daerah memiliki daya beli tinggi ada rendah, juga intensitas masing-masing wilayah berbeda untuk penggunaan bahan bakar. Sehingga, kalaupun diterapkan kebijakan ron tinggi, tetap diperlukan klasterisasi daerah, terutama di kota-kota besar.

“Kita tahu di Indonesia lebih dari 400 kota/kabupaten yang sangat beragam kondisi transportasinya,” ujar Iwa.

Ia mengingatkan, Indonesia memang masuk salah satu negara pengguna BBM ron rendah, dimana negara lain sudah tinggalkan. Namun, di sisi lain, BBM pun harus dipahami menjadi bagian meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Karena itu, jika taraf hidup masyarakat makin tinggi, pendidikan makin tinggi, maka kesadaran itu akan tumbuh, menggunakan bbm ramah lingkungan, seperti yang saya sampaikan diawal, bisa dilakukan. Apalagi, masyarakat Indonesia sebetulnya mudah diarahkan, asal terus diedukasi.

“Sehingga seharusnya dorongan pemerintah agar masyarakat menggunakan bahan bakar ramah lingkungan terus dilakukan, namun dorongan tidak cukup hanya dengam himbauan sesaat, tapi terus menerus melalui jaringan medsos yang ada dan pemerintah mempunyai perangkatnya,” ujar Iwa.

Iwa menerangkan, keengganan menggunakan BBM ramah lingkungan ron tinggi, seringkali bukan karena factor harga namun karena kebiasaan dan ketidak percayaan terhadap perbedaan BBM ramah lingkungan dengan Premium, karena itu perlu terus diedukasi manfaat dan perbedaan signifikan BBM ron tinggi.

Dihubungi terpisah, ekonom Senior Piter Abdullah menambahkan, untuk mengurangi emisi karbon, kebijakan penghapusan BBM ron rendah seperti premium, bisa ditempuh yang berujung subsidi APBN berkurang.

Pilihan ini, secara finansial bagus karena mengurangi beban APBN. Namun di sisi lain, rawan secara politik, karena akan memunculkan gelombang penolakan.

Pilihan kedua, mengurangi atau menghilangkan premium, subsidi kemudian diberikan untuk penggunaan Pertalite, produk BBM lain ramah lingkungan. Pilihan ini menyenangkan masyarakat, tetapi akan berdampak lonjakan subsidi yang sudah pasti membebani APBN.

Pilihan dua ini tidak mudah, dan bisa dinilai sebagai status quo.

Karena itu, di tengah isu Covid, diperlukan kehati-hatian dalam mengambil kebijakan terkait BBM, karena ada factor daya beli. Apalagi fokus pemerintah mengatasi wabah Covid-19 menyelamatkan masyarakat dan dunia usaha yang terdampak. Mengurangi subsidi tak produktif memang tetap harus dipertimbangkan, namun perlu perencanaan jangka panjang dan tidak mendadak, terutama di saat pandemi masih ada.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini