News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Indonesia Ngebet Masuki Era Kendaraan Listrik, Industri Kalang Kabut, Baiknya Bagaimana?

Penulis: Lita Febriani
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mobil listrik mini Wuling Nano EV.

Laporan Wartawan Tribunnews, Lita Febriani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia memasang target 25 persen mobil yang dijual pada 2025 merupakan battery electric vehicle (BEV) alias mobil listrik.

Target ambisius tersebut tentu akan mengubah struktur industri otomotif nasional, mulai dari pemanufaktur, pemasok komponen, hingga konsumen, dimana perubahan mobil dari mesin pembakaran internal atau internal combustion engine (ICE) ke BEV dinilai sangat radikal.

Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu, melihat selain membuat industri manufaktur akan terganggu, perubahan menuju elektrifikasi saat ini masih hanya sekadar wacana politis.

Baca juga: Ketua IMI Janji Hadirkan Motor Listrik Murah, Bamsoet: BSE Harganya di Bawah Rp 10 Juta

"Era elektrifikasi ini masih sebatas wacana politis dan normatif saja. Sekarang, masyarakat belum kenal emisi nol karbon. Lalu, konsumen saat ini tertarik mobil listrik dari sisi hi-tech saja, bukan pada sisi kontruksi engineering. Belum ada standarisasi baterai dan kegamangan lain adalah harga yang terlalu tinggi masih menjadi problem," tutur Yannes dalam webinar Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin), Jumat (15/10/2021).

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebut diperlukan transisi alami dari ICE ke BEV, seperti halnya pergeresan dari transmisi manual ke otomatis.

Hal ini untuk menghindari dampak negatif perubahan struktur industri otomotif yang terjadi secara tiba-tiba.

Harga BEV saat ini terlalu mahal atau rata-rata harga mobil listrik saat ini mencapai Rp 600 juta. Sedangkan daya beli masyarakat Indonesia untuk mobil masih di bawah Rp 300 juta. Artinya, ada selisih Rp 300 juta yang harus dipersempit untuk mendongkrak penjualan BEV.

Dari sisi industri komponen, perubahan dari ICE akan BEV akan mendisrupsi 47 persen perusahaan. Pilihan mereka ada dua, tutup atau beralih membuat komponen-komponen BEV.

Baca juga: Bos IMI: Harga Sepeda Motor Listrik Idealnya di Bawah Rp 15 Juta

Namun, membuat komponen membutuhkan investasi baru dan juga pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Itu sebabnya, industri komponen lebih memilih transisi dari ICE ke mobil hibrida atau (hybrid elecric vehicle/HEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) sebelum masuk BEV.

Masa transisi ini dapat dimanfaatkan industri komponen untuk membangun kompetensi.

Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono, menyampaikan Indonesia membutuhkan mobil listrik, seiring terus menurunnya pasokan bahan bakar fosil.

Kemudian, BEV bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi EV. Mobil listrik juga bisa menurunkn emisi gas buang.

Akan tetapi, Shodiq melihat ada sejumlah tantangan yang dihadapi dengan mengembangkan BEV. Pertama, harga BEV masih mahal, yakni Rp 600 jutaan, sedangkan daya beli konsumen masih di bawah Rp 300 juta. Alhasil, penetrasi pasar kendaraan listrik di Indonesia masih relatif rendah, belum mencapai 1 persen dari total pasar.

Berdasarkan data Gaikindo, per September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar, sedangkan PHEV 44 unit. Adapun penjualan HEV mencapai 1.737 unit atau 0,3 persen.

“PDB per-kapita Indonesia saat ini masih di kisaran 4.000 dolar AS, sehingga daya beli masyarakat untuk mobil masih di bwah Rp 300 juta," kata Shodiq.

Pembicara lain webinar ini adalah Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Sony Sulaksono, Ketua Umum Gabungan Industri, Ketua Umum Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM) Hamdhani Dzulkarnaen Salim, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung Yannes Martinus Pasaribu. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita memberika keynote speech di acara ini.

Tantangan lain, Shodiq Wicaksono melanjutkan, infrastruktur pengecasan baterai EV masih terbatas.

Adapun dari sisi industri, mobil listrik yang dipasarkan saat ini masih diimpor dalam keadaan utuh, belum dirakit atau dibuat di Indonesia.

Kemudian, kata dia, industri komponen utama baterai masih dalam proses pembangunan diperkirakan baru mulai berproduksi pada tahun 2024. Kesiapan masyarakat atau konsumen untuk mengadopsi kendaraan dengan teknologi baru ini.

"Nilai jual kembali BEV juga menjadi tantangan, selain harga baterai masih mahal, yakni 40-60 persen dari harga kendaraan listrik. Selanjutnya, terwujudnya BEV perlu terintegrasi dengan eco industry, penelitian dan pengembangan, serta industri komponen pendukung," imbuh Shodiq.

Seiring dengan itu, dia menyatakan, perlu adanya transisi teknologi untuk mengurangi dampak perubahan struktur industri sebelum terjadi industrialisasi komponen BEV, seperti baterai, PCU/inverter dan lain-lain.

Tujuannya agar BEV dapat berkontribusi terhadap perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja baru.

"Saya lihat pengalihan teknologi kendaraan berbasis motor ke kendaraan listrik sebaiknya berjalan secara alami. Hal penting adalah tingkat permintaan pasar yang tepat sangat penting untuk mencapai skala ekonomi," jelasnya.

Pada prinsipnya, dia menyatakan, industri otomotif mendukung penuh BEV. Namun, ini membutuhkan transisi teknologi.

Sebab, ketika teknologi berubah dari mesin ICE ke motor listrik, komponen berubah. Itu sebabnya, semua pihak harus mengurangi dampak negatif ini ke industri, terutama pemasok komponen.

Pada titik ini, Shodiq menyatakan, transisi alami perlu berjalan mulus, sehingga tidak ada yang dirugikan. Hal ini terjadi saat pergeseran transmisi manual ke otomotif.

"Yang penting, semua bisa terakomodasi dengan baik," imbuhnya

Ketua Umum Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM) Hamdhani Dzulkarnaen Salim, menyampaikan sebanyak 47 persem anggota GIAMM akan terdisrups dari transisi ICE ke BEV.

Komponen yang hilang di BEV adalah mesin, pelumas, termasuk tangki bensin dan knalpot, sedangkan komponen perlu penyesuaian di BEV adalah rem, elektronik, drivetrain, AC dan kompresor.

Adapun komponen baru di BEV, kata Hamdhani, yakni battery pack, inverter, motor, DC converter dan charger.

Sementara itu, komponen ICE yang masih digunakan di BEV adalah roda dan ban, setir, suspensi, aki, sasis dan bodi, interior dan eksterior, serta lampu. Saat ini, total anggota GIAMM mencapai 240 perusahaan, baik pemasok mobil dan motor.

Itu sebabnya, pengembangan ICE ke BEV membutuhkan transisi dan melalui sejumlah tahapan. Ketimbang langsung ke BEV, industri mobil ICE bisa masuk ke HEV dan PHEV terlebih dahulu.

"Ini bukan berarti kami pro ke merek-merek tertentu. Sebab, masa transisi ini dibutuhkan agar kami punya waktu untuk membangun kompetensi. Kalau langsung ke BEC, waktunya sangat terbatas," tegas Hamdhani.

Di era elektrifikasi, dibutuhkan kompetensi di kimia, elektronik dan material, sedangkan era ICE lebih ke mekanis dan mesin.

Isu otomotif saat ini adalah konektivitas, otonom, sharing ride dan elektrifikasi, yang membutuhkan kompetensi teknologi informasi, elektronik, serta kontrol.

"Pertanyaannya, apakah kita siap? Kita bisa siap atau tidak, tergantung banyak hal. Intinya, kami akan berusaha, karena ini masalah hidup dan mati. Waktu tidak berulang lagi. Kami berusaha diversifikasi, mencari mitra yang menopang teknologi kompetensi untuk era elektrfikasi. Ini sangat menantang bagi kita," ucap Hamdhani.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini