Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaksanaan kampanye terbuka Pemilu 2014 segera berlangsung. Sejumlah kepala daerah dan menteri banyak yang didaulat partai politik (Parpol) untuk menjadi juru kampanye nasional (Jurkamnas), dan mereka sudah berbondong-bondong mengajukan cuti.
Tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga akan menjadi Jurkamnas untuk partai yang didirikannya. Presiden sudah mengajukan cuti dua hari pada tanggal 17-18 Maret untuk berkampanye.
Pengamat Politik Boni Hargens menilai tidak ada yang salah jika presiden mengajukan cuti. Namun, secara etika jabatan presiden sebaiknya tidak usah cuti. “Presiden sebaiknya tidak usah menjadi jurkam, sehingga tidak perlu cuti. Secara etika jabatan presiden dituntut untuk mengutamakan kepentingan bangsa bukan bekerja untuk kepentingan partai politik,” kata Boni di Jakarta, Jumat (14/3/2014).
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia ini menuturkan, jika pejabat negara menjadi jurkam sangat kecil kemungkinan fasilitas jabatan yang melekat pada dirinya tidak dipergunakan. Menurutnya, fasilitas jabatan baik material maupun non material pasti akan terpakai.
"Misalnya saja presiden. Saat menjadi jurkam pasti akan tetap mendapatkan pengawalan dari pasukan pengaman presiden (paspampres). Nah, Paspampres itu gajinya kan dibayar oleh uang negara. Itu artinya sama saja menggunakan fasilitas jabatan,” tuturnya.
Boni mengatakan, saat Presiden berkampanye sebagai jurkam, masyarakat akan tetap memandangnya sebagai presiden. Masyarakat tidak akan pernah melihat sebagai jurkam. Sehingga masyarakat secara tidak langsung ditekan untuk menghormati dan sungkan.
"Selain itu daerah yang akan didatangi presiden kampanye, sudah pasti akan tetap memberikan fasilitas istimewa karena meraka akan tetap menilai yang datang itu bukan jurkam, tapi presiden,” ucapnya.