TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasangan Prabowo-Hatta resmi mengajukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2014 ke Mahkamah Konstitusi, Jumat (25/7/2014). Tindakan hukum ini biasa saja dan konstitusional, karena penyelesaian akhir permasalahan pemilu berujung di MK.
"Sistem hukum memang mendesain demikian. Jadi tak perlu ditanggapi secara sinis. Justru aneh ada peserta pemilu yang taat aturan, berjuang mencari keadilan menurut hukum, direspon secara negatif," ujar Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin.
Seandainya Prabowo-Hatta menang menurut KPU, misalnya, dapat dipastikan Jokowi-JK akan melakukan hal sama. Publik tak perlu mempertentangkan pasangan mana yang mengajukan PHPU. Jauh lebih penting adalah mengukur permohonan itu beralasan menurut hukum.
Selama proses pemilu ditemukan ada pelanggaran dan kecurangan yang tidak diproses penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), padahal ada bukti kuat terjadinya pelanggaran dan kecurangan itu, maka permohonan PHPU ke MK dapat dikatakan beralasan hukum.
Kalau ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar. diikuti rekomendasi Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti KPU, ada suara yang diperoleh pasangan calon padahal tak pernah ada pemungutan suara, pemilih yang jumlahnya melebihi jumlah surat suara, kepala daerah yang memobilisasi birokrasi untuk memenangkan pasangan calon, mobilisasi pemilih dengan memanfaatkan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb), semuanya itu memang harus disebut sebagai pelanggaran.
MK akan menguji semua dalil hukum dan alat bukti pemohon (Prabowo-Hatta). Apabila berdasarkan fakta-fakta persidangan terbukti ada proses pemilu yang inkonstitusional, bisa saja MK menjatuhkan putusan sela dan memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang atau penghitungan ulang.
Kalau pelanggaran dan kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif, bisa saja MK langsung menjatuhkan putusan dengan mengganti pemenang Pemilu 2014, sebab peserta pilpres hanya ada dua pasangan calon saja Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.
"Tetapi kalau pelanggaran dan kecurangan yang ditemukan oleh pemohon ternyata tidak dapat dibuktikan secara hukum, maka tentu saja MK akan menolak permohonan pemohon," imbuh Said.