TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kubu capres tak terpilih, Prabowo-Hatta mengajukan bukti dua juta lembar dugaan kecurangan pemilu Presiden 2014 dan 500 saksi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang memenangkan pasangan Jokowi-JK.
MK mempunyai sejumlah wewenang atas sengketa pemilu yang diajukan kepada lembaganya. Menanggapi banyaknya bukti yang diajukan Prabowo, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahuddin, mengatakan, pelanggaran-pelanggaran pemilu yang bisa diajukan ke MK ada yang bersifat kualitatif dan bersifat kuantitatif.
"Pelanggaran kualitatif itu seperti persoalan-persoalan yang tidak secara langsung mempengaruhi hasil seperti pemilih yang tidak memenuhi syarat atau pemilih yang memilih tidak berdasarkan domisilinya. Sedangkan pelanggaran kuantitatif, bicara pada persoalan angka-angka seperti penggelembungan suara atau pengurangan suara," ujarnya, Sabtu (26/7/2014).
Ia menjelaskan, jika ada bukti bersifat kuantitatif, maka MK tidak bisa memeriksanya secara random atau acak, melainkan harus diperiksa satu persatu. Sedangkan untuk bukti bersifat kualitatif yang bisa diperiksa secara random. "Jika bukti sifatnya kuantitatif itu angka dan tidak bisa hanya sampel atau random. Yang ingin dikejar kan perolehan suara. Misalnya terjadi pengurangan suara 5 juta. Dari 5 juta itu hanya dipilih 2 juta saja, yang 3 juta tidak dihitung, ya enggak bisa begitu. Kuantitatif harus benar dihitung. Apa kesalahan penghitungan, penggelembungan suara, atau mengurangi suara pasangan lain. Harus semua dibuktikan dan tidak bisa random," kata Said.
Said mengatakan, MK harus jeli melihat dugaan pelanggaran tersebut. Ia mencontohkan, jika ada 500.000 saksi di seluruh TPS, maka MK tidak mungkin periksa semuanya. Akan dibatasi saksinya dengan jumlah tertentu. Kemudian MK memilih mana yang akan dibuktikan.
"Kualitatif itu untuk mengukur sejauh mana terjadi pelanggaran yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif," tuturnya.
Dikatakan Said, MK pernah mengeluarkan putusan yang paling ekstrem saat menangani sengketa pemilu yakni mengganti pemenang pemilu. Hal itu terjadi pada kasus Pilkada Kotawaringin Barat yang juga diikuti dua pasangan calon, dimana pemohon mampu membuktikan bahwa pemenang Pilkada versi KPUD terbukti melakukan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. "Pasangan calon hanya ada dua.
Apabila pemenang pemilu terbukti melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif, maka tidak perlu pemilu ulang karena satu pasangan calon sudah cacat karena terbukti melakukan pelanggaran. MK dapat saja mengganti pemenang pemilu dalam kondisi pemohon dapat membutikan pemenang pemilu telah melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif.
"Apa MK berwenang mengganti pemenang pemilu? Jawabannya iya. Tapi bagaimana peluangnya, memang tidak besar, saya kok tidak yakin. Namun aturan mainnya memungkinkan," paparnya.
Menurut Said hal yang mungkin paling masuk akal adalah pemungutan suara ulang. Itu pun tidak 100 persen TPS. MK bisa mengabulkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS yang dipermasalahkan atau hanya di sebagian TPS yang dipermasalahkan. Dikatakannya, pemungutan suara ulang bisa terjadi jika bukti yang diajukan menunjukkan terjadi kekeliruan dalam proses pemungutan suara. Misalnya seperti laporan dari kubu Prabowo-Hatta, mengenai kecurangan yang terjadi di TPS yang ada di Papua.
"Prabowo menilai di Papua tidak ada pemungutan suara, tidak pula ada sistem noken (ikat suara). Rakyat tidak memberikan suaranya tapi tiba-tiba ada hasil suaranya. Pasangan nomor urut 1 dapat nol suara, pasangan lainnya dapat 100 persen suara dalam DPT. Itu kan fiktif, kalau fiktif ya jangan dihitung ulang. Kecenderungannya pemungutan suara ulang," jelasnya. Jika tidak diketahui asal usul suaranya, kata Said, maka tidak bisa dihitung ulang. Sedangkan jika salah penghitungan, data lain tunjukkan sekian, tinggal penghitungan ulang.
"Jadi tidak semuanya pemungutan suara ulang. Namun jika tidak diketahui datanya, lebih pasti pemungutan ulang," pungkasnya. (Ahmad Sabran)