TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kubu Prabowo-Hatta menyoal kejanggalan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) dalam sidang lanjutan gugatan perkara permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Capres, di Mahkamah Konstitusi (MK) Senin (11/8/2014).
Kuasa hukum Merah Putih, Magdir Ismail dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, mengklaim ada sejumlah kejanggalan mencolok soal DPKTb di wilayah Jawa Timur seperti yang tertuang dalam sidang yang beragenda mendengarkan keterangan para saksi tersebut.
Maqdir mencontohkan, pada satu di antara TPS, ada sebanyak 130 pemilih yang menggunakan DPKTb meski surat suara cadangan hanya berjumlah 2 persen dari total DPT di TPS tersebut.
"Itu (DPKTb) sangat mencolok di Jatim. Salah satu TPS ada 130 orang menggunakan DPKTb. Cadangan suara hanya 2 persen, sehingga tidak mungkin 130 pemilih itu bisa mendapatkan surat suara dari surat suara cadangan," kata Magdir.
Magdir juga menyebut satu di antara saksi yang diajukan pihak termohon (KPU), Nanang Haromi yang merupakan anggota KPU Sidoarjo, Jatim, juga mengakui ada 130 pengguna DPKTb di TPS 23 Kecamatan Waru, Sidoarjo.
Nanang saat menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim, Hamdan Zoelva, kata Magdir, mengatakan di TPS 23 jumlah DPT sebanyak 493 pemilih, sedangkan DPKTb sebanyak 130 pemilih.
Maqdir juga mengatakan, pihaknya menduga ada pelanggaran yang dilakukan oleh oknum pejabat di Purbalingga, Jawa Timur, yang mengumpulkan para kepala desa.
Dari sekitar 300 desa itu, pasangan calon yang didukung PDIP yang notabene adalah partai dari oknum tersebut, semuanya menang.
“Fakta-fakta hukum yang luar biasa terungkap di persidangan hari ini. Ini semakin menguatkan dalil-dalil yang disampaikan, benar-benar terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara dalam pelaksanaan Pilpres 2014,” jelas Maqdir.
Adapun kuasa hukum lain dari Kubu Merah Putih, Heru Widodo mengatakan, selain fakta-fakta tentang DPKTp, terkuak fakta-fakta lain yang mengindikasikan pelanggaran yang dilakukan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Fakta-fakta tersebut, kata Heru, berupa pembukaan kotak suara yang dilakukan oleh pihak KPU yang tidak sesuai penetapan MK, keterlibatan kepala daerah memobilisasi kepala desa untuk kemenangan pasangan nomor urut 2, laporan Panwas, dan adanya proses di kepolisian.
"Pelanggaran-pelanggaran tersebut menjadi satu kesatuan dalam permohonan yang kami ajukan,” klaim Heru.
Kuasa hukum lain dari kubu Merah Putih, Zainudin Paru menambahkan, kotak suara adalah piranti utama dalam proses pemilu, sehingga wajar kemudian proses pembukaannya dipersoalkan.
“Keamanan, keselamatan, dan kerahasiaan tentang suara pemilih itu untuk siapa, itu ada di kotak suara. Kalau kita menyatakan kotak suara itu tidak penting, maka tidak perlu adanya kotak suara. Kita pakai pundi pos saja,” kata Zainudin.