Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden yang doimohonkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah tidak satupun dalil Prabowo-Hatta yang terbukti dalam persidangan.
Terhadap dalil mengenai pengabaian DP4 dalam penyusunan DPS maupun DPT, bahwa DPT memang merupakan keputusan KPU sebagai penyelenggara yang berada pada puncak struktur, namun proses dari tahap-tahap tersebut bersifat bottom up dari struktur penyelenggara yang paling bawah, kemudian berlanjut tahap demi tahap sampai pada struktur yang tertinggi dalam kerangka waktu sebagaimana diuraikan di atas.
"Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka apabila ada keberatan mengenai DPT, seperti penambahan dan modifikasi jumlah pemilih sebagaimana didalilkan Pemohon, seharusnya permasalahan tersebut diselesaikan oleh penyelenggara dan peserta dalam kerangka waktu tersebut melalui mekanisme yang menurut hukum tersedia pada tahap-tahap sebagaimana diuraikan di atas," ujar hakim anggota Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hakim.
Bahwa adapun dalil Pemohon khusus mengenai pengabaian DP4 dalam penyusunan DPS dan DPT sebagaimana disebutkan dalam tabel permohonan (halaman 44), Pemohon tidak menjelaskan bagaimana pengabaian tersebut terjadi, karena Pemohon hanya menyebut angka DPSHP yang diunduh dari laman KPU dan angka penambahannya yang kemudian menjadi angka DPT
Pilpres.
Terkait dalil DPKTb, Mahkamah berpendapat bahwa salah satu ketentuan hukum yang mengatur tentang Pemilu adalah negara berkewajiban untuk menetapkan DPT dan warga negara berhak untuk didaftar dalam DPT tersebut dalam rangka pelaksanaannya. Berdasarkan definisinya, secara hukum dan administratif warga negara yang dapat memilih adalah yang terdaftar dalam DPT. Permasalahannya adalah bagaimana dengan warga negara yang secara hukum telah memenuhi syarat untuk memilih, tetapi tidak terdaftar dalam DPT.
Mahkamah pun mengutip Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009, bertanggal 6 Juli 2009, dan Peraturan KPU.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, DPTb, DPK, dan DPKTb yang diatur dalam PKPU harus dinilai sebagai implementasi penyelenggaraan Pemilu dalam rangka memenuhi pelaksanaan hak konstitusional warga negara
untuk memilih, karena ketentuan konstitusional dalam UUD 1945 dan putusan Mahkamah sebagai putusan pengadilan konstitusional secara faktual belum ditindaklanjuti dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, secara materiil DPTb, DPK, dan DPKTb yang diatur dalam PKPU tidak bertentangan dengan hukum atau konstitusi," kata dia.
Terkait dalil adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang berupa mobilisasi pemilih di 46.013 TPS, Mahkamah menilai seluruh TPS yang dipersoalkan oleh Pemohon tidak terkait dengan perselisihan hasil perolehan suara.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, mengenai dalil adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, tidak terbukti menurut hukum.
Demikian pula mengenai dalil lainnya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tersebut juga tidak terbukti terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan memengaruhi perolehan suara Pemohon sehingga melampaui perolehan suara Pihak Terkait.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum," ujar hakim Muhammad Alim.