TRIBUNNEWS.COM – Ada 200 hingga 300 waria yang kuliah di S1 di berbagai kota.
Meskipun telah mendapat larangan dari Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, masih banyak universitas yang memperbolehkan mahasiswanya menjalani kehidupan akademik.
Lantas, bagaimana kehidupan mereka di dunia perkampusan? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Indonesia (KBR).
Ienes Angela, salah satu lulusan S1 Hukum di Universitas At Tahiriyah, Jakarta sempat menceritakan pengalamannya saat berkuliah.
“Hampir nggak ada pengalaman tidak menyenangkan dari sekitar. Ya paling pandang-pandangan,” ucapnya.
Awalnya tentu ia merasa canggung tetapi kampus berbasis agama ini justru menerima kehadirannya. Dosennya juga mempersilakan dirinya untuk berdandan.
Namun, ia mengaku memang tidak suka memakai make up. Di kampus, Ienes tak banyak bersolek, hanya perona bibir yang ia pakai. Selebihnya, ia mengenakan batik atau kemeja, celana jins plus flat shoes. Sementara rambutnya, diikat.
Apa yang dialami Ienes di dunia akademik sesungguhnya bukan hal baru. Tapi, hal ini berubah setelah Mohamad Nasir menyebut kampus bukan tempat untuk LGBT – di mana Ienes masuk di dalamnya.
“Banyak yang menyerah dengan keadaan. Dampaknya kemudian prestasinya menurun, malas sekolah. Karena sudah terbayang kalau ke sekolah atau menuju sekolah yang ada hanya kekerasan,” kata Ketua Arus Pelangi, Yuli Rustinawati.
“Kalau orang lain tidak mau menerima, bukan urusan saya. Tapi kalau saya melihat kemampuannya, kemampuan ilmiahnya. Kami sebagai universitas yang nasionalis, tidak membedakan ras, agama, apa pun – yang penting kewajiban ilmiah dan administrasi terpenuhi ya sudah,” tegas Profesor Sinaulan selaku Ketua Pascasarjana Hukum Universitas Jayabaya.