TRIBUNNEWS.COM - Bertahun yang lalu, metode pembelajaran tradisional atau disebut juga metode ceramah mungkin menjadi salah satu metode pembelajaran paling populer di sekolah-sekolah.
Paling tidak, itulah yang dialami mereka yang lahir dan besar di era 80 dan 90-an. Sampai teknologi yang lebih maju hadir dan terus berkembang hingga saat ini.
Tak lagi sekadar mendengarkan, siswa kini juga diajak untuk belajar online dan interaktif, kapanpun dan dimanapun.
Kegiatan belajar pun tidak lagi ditekankan pada "hasil", melainkan pada "proses" dari belajar itu sendiri.
Dengan begitu, hal yang lebih utama adalah penyusunan strategi bagaimana agar siswa memperoleh pengetahuan lewat cara "mengalami", dan bukan sekadar “menghafal”, lengkap dengan pengaplikasian teori di kehidupan nyata.
Nah, salah satu strategi yang biasa digunakan para guru adalah dengan menggunakan metode belajar interaktif. Metode yang digunakan bermacam-macam.
Mulai dari memadukan antara materi pelajaran dan permainan, praktik atau bahkan dengan permainan yang sudah disesuaikan.
Intinya, para pendidik mencoba mengajak siswa untuk tidak sekadar duduk diam, tapi juga aktif.
Komunikasi pun dilangsungkan dalam bentuk komunikasi dua arah. Dengan begitu, siswa akan lebih berkembang dan dipacu untuk berpikir, tidak hanya diam dan mendengar.
Singkat kata, sekolah banyak memberikan stimulan-stimulan ke anak untuk melatih keseluruhan sistem motoriknya.
Banyak cara bisa ditempuh untuk menerapkan metode pembelajaran interaktif ini. Mulai dari menggunakan batang kayu, hingga perangkat digital seperti komputer, laptop ataupun smartphone.
Tentu saja, di era revolusi industri 4.0 seperti sekarang, perangkat digital menjadi pilihan untuk menerapkan metode belajar interaktif, baik secara offline maupun online.
“Di era sekarang ini, perangkat digital jadi tools ideal untuk membangun interaksi dalam proses belajar siswa. Mulai dari interaksi antara siswa dan materi pelajaran, siswa dan guru, siswa dan sekolah, hingga interaksi siswa dalam hal memilih metode penyampaian materi yang dianggapnya paling mudah untuk dipahami,” ungkap Fernando Uffie, pemerhati edutech yang saat ini menjabat sebagai Country Manager Extramarks Indonesia.
Efektivitas pembelajaran interaktif secara online juga memberikan dampak yang positif karena di dalamnya juga mengandung metode belajar Visual, Auditory, dan Kinesthetic.
Bukan sekadar teks, yang ada kalanya sering membuat bosan, khususnya bagi generasi Z yang punya kebiasaan melihat layar.
Hal ini juga sejalan dengan karakter siswa, di mana ada yang bisa dengan cepat menerima materi pelajaran hanya dengan teks, tetapi tak sedikit pula yang akan lebih mudah paham jika materi pelajaran disampaikan dalam bentuk visual, auditory ataupun kinesthetic.
Sebagai contoh, materi pelajaran visual itu disampaikan dalam bentuk animasi atau video.
Untuk materi pelajaran auditory, disampaikan dalam bentuk cerita atau dongeng. Sedangkan kinesthetic, materi pelajaran diberikan dengan melibatkan gerakan.
Biasanya orang yang tipe ini, merasa lebih mudah mempelajari sesuatu tidak sekadar membaca buku tetapi juga mempraktikkannya.
Dengan melakukan atau menyentuh objek yang dipelajari akan memberikan pengalaman tersendiri bagi tipe kinestetik. Semua itu dimungkinkan dengan cara belajar menggunakan perangkat digital atau secara online.
“Kebiasaan melihat layar ala generasi Z, menjadikan perangkat digital sebagai alat belajar yang ideal. Dengan perangkat digital, proses belajar juga bisa lebih interaktif, karena mereka tidak hanya bisa learning, tapi juga practice dan test,” ungkap Uffie.
Dalam konteks belajar, generasi Z cukup matang, mandiri dan banyak akal, khususnya dalam hal pemanfaatan teknologi untuk membantu proses pembelajarannya.
Mereka tahu bagaimana mendidikdiri sendiri dan mencari informasi. Menurut penelitian yang dilakukan iiD, 52% generasi Z menggunakan Youtube dan media sosial untuk membantu mereka dalam mengerjakan tugas.
“Kata kuncinya adalah mengarahkan generasi Z untuk menggunakan medium yang tepat untuk belajar. Mereka suka mencari informasi dari konten video ataupun berinteraksi dan mencari informasi maupun jawaban melalui media sosial, youtube atau google untuk mencari jawaban padahal materi yang ada di sana belum tentu sesuai dengan apa yang diajarkan di sekolah atau kurikulum. Inilah kenapa Extramarks mentransformasi materi pelajaran yang sesuai dengan kurikulum nasional ke dalam konten-konten yang disesuaikan dengan karakter siswa, yaitu visual, audio, dan kinesthetic. Lengkap dengan beragam tools yang memungkinkan interaksi antara siswa, guru, orangtua murid, dan sekolah,” kata Uffie.