TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Islamic and Middle Eastern Research Center (IMERC) di bawah naungan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia mengadakan kuliah umum bekerja sama dengan Kedutaan Besar Pakistan pada Jumat (2/11/2018) lalu di Gedung IASTH kampus UI Salemba.
Acara yang bertema 'Future of Kashmir Issue and Its Strategic Implications' ini dihadiri oleh akademisi dan mahasiswa dari berbagai perguruang tinggi wilayah Jabodetabek.
Terdapat 3 pembicara yang mengisi kuliah umum tersebut, yaitu Abdul Salik Khan (Duta Besar Pakistan), kolonel Khuram Shabbir (atase pertahanan), dan Drs. Zahir Khan, S.H, Dipl., TEFL (ketua umum Forum Solidaritas Kashmir).
Kuliah umum dipimpin oleh moderator Drs. Nur Munir, MTS., MAJS, direktur IMERC.
Pada sambutannya, direktur SKSG UI, Dr. Muhammad Luthfi berpesan agar peserta dapat lebih bijak dalam menanggapi isu terkait Kashmir, karena ini merupakan isu sensitif yang rentan digunakan pihak tidak bertanggung jawab.
Para akademisi diharap dapat menganalisa secara cermat dan menjadi penengah demi mencapai penyelesaian terbaik bagi masalah Kashmir, bukan menjadi pihak yang mengompori isu sensitif ini.
Duta Besar Abdul Salikh Khan, pembicara pertama, memberikan materi ceramah dengan memperlihatkan slide keindahan alam Kashmir setelah menceritakan perjalanan panjang Pakisan menjadi sebuah negara.
Dubes Abdul pun membandingkan geografi dan demografi Kashmir semenjak sebelum dan sesudah okupasi India.
Beberapa resolusi PBB dikeluarkan yaitu tahun 1948, 1951, 1957, dan 1999 yang menyerukan penyelesaian masalah Kashmir melalui referendum untuk memfasilitasi masyarakat Kashmir menentukan pilihan sendiri, namun sampai saat ini tidak membuahkan hasil.
Pada sesi kedua, Zahir Khan menyatakan bahwa hubungan India dan Kashmir bukan semata masalah wilayah, tetapi juga masalah agama.
Ia mengharap dukungan masyarakat Indonesia terkait masalah tersebut sebagaimana dulu Pakistan mendukung Indonesia meraih kemerdekaan.
Zahir Khan mensinyalir salah satu tokoh kemerdekaan, Fadhilah Khan yang dikenal sebagai Fatahillah, berasal dari Pakistan.
Khuram Shabbir memberikan komparasi wilayah Indonesia dan Kashmir berikut penduduknya.
“Kashmir yang hanya 400 km kali kurang lebih 300 km dimasuki oleh 700.000 tentara India. Jumlah ini tidak sebanding dengan kecilnya wilayah,” terangnya.
Ia pun menceritakan suasana kehidupan di Kashmir yang penuh ancaman karena serangan tidak terduga dari tentara India.
Beberapa poin penting disampaikan direktur IMERC dalam memimpin jalannya kuliah umum terkait isu Kashmir.
Bahwa IMERC melalui medium ini berusaha melaksanakan amanat pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea pertama tentang hak kemerdekaan bagi segala bangsa, dan alenia keempat tentang ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dua alenia ini menjadi dasar politik luar negeri Indonesia, yaitu “bebas dan aktif.”
Undang-Undang (UU) No. 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12 tahun 2005 mengenai ratifikasi International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966 adalah landasan legalitas lebih detil bagi Indonesia untuk perlunya memberikan kontribusi bagi penyelasaian masalah Kashmir.
Dasar legalitas ini seirama dengan lingkungan hukum internasional, yaitu United Nations Declaration on Human Rights (UDHR) 1948 dan ICCPR 1966.
Maka IMERC merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk meningkatkan peran aktif dalam “bebas dan aktif” menangani isu Kashmir yang hingga saat ini masih berlangsung.
Kuliah umum ini berlangsung lancar dengan diskusi interaktif sebagai penutup acara.
Para peserta mengaku belum banyak mengetahui perihal isu Kashmir bila dibandingkan dengan isu lain di wilayah Timur Tengah atau negara muslim lainnya.
Dengan diadakannya acara ini wawasan mahasiswa diharapkan bertambah dan memberikan dukungan moril kepada penduduk Kashmir.