Namun, gagasan itu langsung ditolak mentah-mentah. Di usia lima tahun, Lala justru meminta masuk SD.
Persyaratan masuk SD saat itu adalah anak sudah bisa calistung.
Karena itu sudah jadi panganan sehari-hari Lala kecil, dia pun lolos tes dan dinyatakan bisa masuk SD.
Saat itu, baik Patricia dan Boy belum menyadari bahwa anak mereka meski masih balita tapi kemampuan berpikir sudah melebihi umur.
Sekolah Dasar, si anak suka panjat pohon dan dianggap trouble maker
Perjalanan Lala di SD pun tidak berjalan mulus.
Lala kerap dianggap sebagai trouble maker dan beberapa kali pindah sekolah.
Namun akhirnya saat Lala kelas 2 SD, Patricia dan suami sepakat untuk tidak lagi memindahkan Lala ke sekolah lain.
Keduanya memaksa Lala untuk bertahan sampai lulus ujian nasional.
"Saya ingat, saya nego sama gurunya, terserah Lala mau di kelas atau enggak, yang penting dia (Lala) sekolah. Apalagi bapak dosen, saya juga mantan guru, kalau anaknya enggak sekolah apa kata dunia," kata Patricia sambil tertawa.
Alih-alih ada di dalam kelas, guru pun melaporkan Lala lebih sering berada di ruang kepala sekolah untuk membaca koran atau di perpustakaan.
Bahkan, seringkali Lala berada di sawah atau di atas pohon. Perilaku Lala yang sangat aktif ini diakui Boy membuat guru-gurunya kewalahan.
"Kita tahunya dia hiperaktif saja," ungkap Boy yang juga menjadi dosen di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Boy bersama istri pun pernah menjemput Lala pulang sekolah, dan rupanya Lala kecil yang masih duduk di bangku SD sedang bermain di atas pohon.