TRIBUNNEWS.COM - Usia muda kerap kali membuat orang lain memandang sebelah mata.
Biasanya dianggap karena kurang pengalaman dan lainnya.
Hal ini juga yang dirasakan Ketua Umum YLBHI, Asfinawati.
Sejak muda, Asfinawati telah terjun ke kegiatan aktivis.
Bahkan, dia adalah perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua YLBHI.
Padahal, selama ini posisi itu selalu didominasi kaum adam.
Saat diundang ke Mata Najwa Selasa (19/2/2020), Asfinawati menceritakan pengalamannya dipandang sebelah mata karena masih muda.
"Sejak awal saya asik sendiri menyaksikan bagaimana perempuan muda itu pasti nggak dianggap."
"Contohnya, bersama asisten pengacara laki-laki tinggi, pasti nanti yang ditegur asisten," ungkap Asfinawati.
Bahkan, saat dia pernah ditegur polisi terkait penampilannya yang masih terlihat muda.
Terang-terangan polisi itu menanyakan usianya.
"Saya pernah mendampingi BAP, ada polisi tanya kamu umur berapa, umur segini saya bilang, terus dia ngomong oy dia udah umur segini," ujarnya.
Alumni Universitas Indonesia ini, sudah lama berkecimpung di dunia aktivis.
Tentunya, dia sering diundang ke acara-acara debat.
Apalagi yang berkaitan tentang bantuan hukum.
"Ada kisah yang saya senang sekali, pertamakali debat dipanggil dek, tengah-tengah dipanggil mbak."
"Capai kesepakatan saya dipanggil buk," ujarnya.
Baca: VIDEO Anies Baswedan, Ganjar, Ridwan Kamil Dikerjain Tik Tok Mata Najwa, Andien & Ardi Bakrie Ngakak
Menurutnya, pandangan orang terhadap anak muda itu layaknya cara pandang feodal.
Yaitu adanya sistem kasta, sehingga cenderung meremehkan orang yang bahkan hanya berbeda usia.
"Bukan soal usia tapi cara pandang, menurut saya maaf ini feodal," kata Asfinawati.
Asfinawati menilai, seharusnya bukan usia yang dijadikan sebagai acuan kompetensi seseorang.
Melainkan, adalah seberapa banyak pengalaman yang sudah dia peroleh.
"Melihat orang yang muda itu pasti nggak punya kompetensi, padahal harusnya yang dilihat pengalaman," tutupnya.
Fiersa Besari Menggunakan Isu Galau untuk Berkarya
Fiersa Besari sudah banyak menelurkan karya baik lagu, buku atau bahkan kata-kata yang menggelitik di akun sosial media pribadinya.
Tulisannya dan karyanya kebanyakan menyinggung kegalauan khas anak muda.
Menurutnya, justru jika sudah tidak galau maka butuh dipertanyakan.
"Saya melihat, semua orang punya kegalauan masing-masing kan."
"Saya selalu percaya bahwa, ketika kita sudah merasa tidak galau berarti ada yang tidak beres dengan diri kita," ujarnya.
Kendati demikian, yang dirisaukan juga harus jelas.
"Tergantung seberapa besar tingkat kegalauannya, dan apa yang kita galau-in."
Eksposur yang dimiliki Fiersa memang besar di kalangan milenial.
Wacana mengenai galau ini, lantas dia gunakan untuk menyisipkan isu yang sedang hangat.
"Saya memanfaatkan energi ini gitu, kadang dengan kata-kata yang cheezy di Twitter, kadang bar-bar."
Pengakuannya menulis sindiran yang frontal ini, lantas disambut tawa penonton di studio.
Selain itu, penulis Garis Waktu ini juga memasukkan pesan tentang sosial dan lingkungan.
"Saya juga sering menggunakan kesempatan itu untuk, sesekali menyelipkan kegiatan sosial atau pesan-pesan sosial dan lingkungan," kata Fiersa.
Fiersa sering membuat konten Youtube tentang kegiatannya di alam.
Pelantun Waktu yang Salah ini memang gemar mendaki gunung.
Caranya menyisipkan pesan tentang lingkungan ini di tulisan-tulisan galaunya, adalah untuk mengembalikan kecintaan anak muda pada alam.
Menurutnya, isu cinta dan galau merupakan pangsa pasar yang cocok di kalangan muda mudi.
"Karena saya tahu, yang paling menjual untuk dipasarkan adalah kegalauan dan cinta."
Terlebih, jika bisa menuangkan kegalauan itu pada sebuah karya.
"Kalau ada unek-unek dikeluarin dengan karya itu lebih baik daripada dipendam tahu-tahu ngobat gitu," pungkas Fiersa disambut gelak tawa dan tepuk tangan penonton.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)