Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Membaca adalah inti dari pendidikan.
Sayangnya budaya membaca di Indonesia masih sangat rendah.
Data The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan, budaya membaca di Indonesia termasuk yang paling rendah dari tahun ke tahun.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan untuk mengejar kemampuan membaca saja, kita butuh 45 tahun, dan mengejar ketertinggalan Sains, dibutuhkan waktu 75 tahun.
Satria Dharma, penggagas Gerakan Literasi Sekolah yang sudah dimulai sejak 2005 dan saat ini sudah menjadi program nasional mengatakan, perlu ada kesadaran akan pentingnya penguasaan literasi membaca sejak dini, oleh semua pihak.
“Reading is the heart of education. Anak yang tiap hari sekolah tapi tidak membaca, sebenarnya dia tidak mendapat pendidikan. Tidak ada gunanya guru berbicara dan mengajar setiap hari, karena dengan hanya mendangar maka anak-anak tidak mendapat pendidikan,” jelasnya di acara bincang dengan tema Manfaat Storytelling Untuk Perkembangan Karakter Anak, Rabu (30/9/2020).
Dampak dari budaya literasi yang rendah, menurut Satria Dharma, bisa dilihat dari status Indonesia sebagai pengirim buruh migran terbesar.
TKI Indonesia sudah mencapai 9 juta.
“Karena kemampuan literasi kita rendah, kita tidak mampu menggerakkan roda perekonomian negara kita sendiri,” jelas Dharma.
Literasi rendah juga mengakibatkan hoax dan hate speech merajalela.
Menurut Dharma, sebenarnya anak-anak Indonesia memiliki minat baca yang sama besarnya dengan negara lain.
Lalu apa masalahnya? Ternyata sejak kecil, dan selama sekolah, anak-anak Indonesia tidak diwajibkan membaca buku.
Padahal di negara lain anak sekolah selalu diwajibkan untuk membaca.
"Bandingkan dengan di Thailand. Siswa SMA di sana wajib membaca 5 judul buku, di Amerika Serikat 32 judul buku. Di SMA Indonesia, 0 judul. Ini fakta yang sangat menyakitkan. Jadi anak-anak kita rabun membaca dan tidak menulis. Prestasinya rendah. Dari 41 negara, kita hanya peringakt 39 PISA,” ujar Dharma.
Eddy Hendry, Head of Early Childhood Education and Development Tanoto Foundation, menjelaskan literasi sebenarnya bukan hanya kemampuan membaca tapi juga memahami membaca.
Saat ini belum banyak diterapkan kebiasaan membaca di usia dini.
Apalagi sekarang anak-anak lebih akrab dengan gadget, dan kebiasan mendongeng juga berkurang.
"Kita ingin ada gerakan literasi Indonesia Cinta Membaca, memastikan agar anak-anak punya kebiasaan membaca usia dini," ujarnya.
Satu di antara kegiatan Indonesia Cinta Membaca adalah mengadakan kompetisi membaca di mana kegiatan membaca bisa menjadi kebiasaan yang menyenangkan.
“Tujuan utama ingin setiap anak mencapai potensi penuh belajar mereka dan ini selaras dengan dukungan kami pada pemerintah untuk menekan angka stunting. Bicara stunting bukan soal gizi saja tapi juga aktifnya pola asuh dan kualitas pengasuhan orangtua dan di sekolah,” jelas Eddy di kesempatan yang sama.
Otak manusia berkembang sangat pesat di 1000 hari pertama kehidupan.
Ini adalah masa-masa krusial dalam tumbuh kembang anak karena sinaps yang terbentuk pada usia ini sangat cepat.
Jadi sebenarnya usia dini adalah investasi yang sangat besar.
Baca: Polisi Antar Buku Sebrangi Lautan untuk Anak Pulau Lutungan yang Belajar di Rumah, Ajari Membaca
Menurut Eddy, membaca adalah salah satu stimulasi untuk memaksimalkan perkembangan otak anak.
Di negara-negara maju, minat baca sudah dimulai jauh sebelum mereka bisa membaca.
Hasilnya, anak-anak yang suka membaca tidak memiliki kesulitan ketika bersekolah.
Sebaliknya, anak yang tidak suka membaca ternyata dikaitkan dengan tingkat kriminalitas yang cenderung lebih tinggi ketika mereka dewasa.
Dongeng Dulu Membaca Kemudian
Rumah jadi sekolah yang pertama bagi anak sehingga ketika ingin anak memiliki kebiasaan membaca, kebiasaan itu dimulai dari rumah.
Pendongeng Awam Prakoso memberikan tips, seperti saat ia mendirikan Kampung Dongeng Indonesia.
Upayakan mulai membiasakan membaca dari tingkat keluarga.
“Seperti membakar obat nyamuk dari tengah lama-lama meluas sampai tingkat kelurahan, kecamatan, dan seluruh negeri,” ujarnya di kesempatan yang sama.
Baca: Perpusnas Ajak Perpustakaan di Indonesia Lakukan Inovasi Literasi di Tengah Pandemi
Buku, lanjut Awam, bisa menjadi satu alternatif yang dimanfaatkan untuk memberikan edukasi pada anak-anak.
Orangtua bisa membacakan buku cerita, atau bahkan mendongeng sejak untuk anaknya di usia sedini mungkin.
Ia mengatakan, membangun minta baca sejak dini sangat penting untuk tumbuh kembang anak dan mempengaruhi masa depan anak saat dewasa.
Membaca 15 menit ternyata memperkaya kosa kata anak hingga 1 juta kata setiap tahunnya. Anak yang rajin membaca ternyata 1 tahun lebih maju.
Selain itu membantu meningkatkan IQ anak hingga 6 poin.
Minat baca bisa dimulai sejak dini dengan membacakan dongeng.
Cara membacakan dengan menarik dengan intonasi yang tidak datar.
Berikut tips Mendongeng (storytelling) untuk Anak
- Membuat atau memilih cerita sesuai tema, usia anak, dan pahami ceritanya.
- Menyiapkan media peraga bila diperlukan
- Berlatih secukupnya
- Menyiapkan tempat bercerita, bila dilakukan oleh guru.
- Membuka pertunjukan dongeng bisa dengan tebak-tebakan, diselingi lagu-lagu ringan, dan permainan kreativias.
- Saat mendongeng, jangan terburu-buru dan harus tetap menyenangkan. Boleh menggunakan improvisasi, dan libatkan anak dalam bagian-bagian tertentu.
- Mendongeng ditutup dengan tanya jawab tokoh alur dan alur cerita, atau menggambar tokoh atau salah satu seting dalam cerita. (*/Lis)