Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muncul kritik terhadap masalah formasi pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Misalnya soal kekosongan Wamendikbud, padahal sangat banyak tanggung jawab kementerian yang tidak bisa diurus seorang diri oleh Mendikbud Nadiem Makarim.
Pegiat masalah pendidikan pada The Center of Research in Education for Social Tranformation, Ode Rizki Prabtama mengkritik terjadinya perampingan atau rotasi di jajaran direktur dan staf Kemendikbud.
Misalnya, staf ahli hanya diangkat satu orang.
Padahal, kata dia, biasanya kementerian ini merekrut staf ahli tiga sampai lima orang, bahkan lebih.
"Di satu sisi, Nadiem malah mengangkat staf khusus yang belakangan dikumpulkan menjadi tim merdeka belajar," kata Ode Rizki Prabtama, Kamis (28/1/2021).
Baca juga: Pelantikan Rektor USU yang Diterpa Isu Self-Plagiarism Tak Disiarkan, Ini Penjelasan Kemendikbud
Baca juga: Nadiem Bakal Keluarkan Surat Edaran Cegah Terulangnya Pemaksaan Siswi Nonmuslim Berjilbab
Ode Rizki khawatir Nadiem tidak memilih orang cerdas dan berkompeten di bidangnya namun hanya memilih orang yang bisa mengeksekusi ide-ide dan kepentingan yang sudah dikonsep.
Menurut dia, kalau mau inline dengan visi Presiden Joko Widodo dalam percepatan akses pendidikan, lebih-lebih di masa pademi, maka yang harus secara serius didorong Nadiem adalah kerjasama dengan Kemkominfo dan Kemendes dalam rangka membangun infrastruktur untuk meretas keterbatasan akses teknologi informasi di pelosok negeri.
Di samping pekerjaan instrumentalis itu, sambung Ode Rizki, yang juga paling penting adalah bagaimana Mendikbud mendesain paradigma pendidikan Indonesia yang fundamental, tidak parsial dan instrumetal belaka.
"Wajar ketika belakangan dikabarkan Mas Menteri mengaku stres mengurusi pendidikan Indonesia.
Sebab, beliau tinggal di Singapura dengan pengalaman mengelola perusahan, tidak di Indonesia dengan pemahaman atas kompleksitas kebudayaan yang plural," ujar Ode Rizki.
Menurut dia, inilah kendala yang dihadapi saat mantan bos perusahaan diangkat menjadi birokrat pembuat kebijakan pendidikan.