TRIBUNNEWS.COM - Kesehatan dan pendidikan berkualitas dapat menjamin masa depan anak. Namun, mengutip laporan UNICEF yang dirilis 11 Mei 2020 bertajuk “Agenda Tindakan untuk Mengatasi Tantangan Sosial Ekonomi”, 9 dari 10 anak Indonesia masih kekurangan akses nutrisi dan pendidikan.
Dengan kata lain, masih banyak anak yang belum terpenuhi nutrisinya dan belum mendapat kesempatan belajar yang optimal untuk masa depannya.
Selain kesehatan, pendidikan merupakan hal mendasar yang berpengaruh dalam peningkatan kualitas SDM, sehingga penting untuk menjamin akses pendidikan berkualitas agar anak-anak meraih masa depan gemilang.
Namun, pemberlakuan pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat penutupan sekolah di masa pandemi semakin mempertajam tantangan akses belajar bagi siswa yang kondisi ekonominya kurang beruntung.
Tidak di seluruh wilayah Indonesia sistem PJJ berjalan lancar. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, 50 persen anak-anak di luar Jawa tidak terlayani PJJ daring.
Alasan utamanya adalah ketiadaan sarana teknologi yang dimiliki siswa, mulai dari laptop, smartphone, kuota internet, hingga jaringan internet yang stabil. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan belajar yang lebar antarsiswa.
Sejak Mei 2020 lalu, KPAI pun telah menuturkan adanya bias kelas akibat kesenjangan dalam pelaksanaan PJJ. Siswa dari keluarga menengah ke atas cenderung lebih mampu menerapkan proses PJJ.
"Artinya, mereka punya perlengkapan, sarana, kemampuan membeli kuota. Sehingga proses itu bisa berjalan," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam diskusi online 'Manajemen Sekolah di Masa Krisis Covid-19', Kamis (7/5/2020) lalu.
Sebaliknya, siswa dari keluarga dengan kelas ekonomi bawah tak mencicipi privilese tersebut.
Kondisi ini membuat pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan sesungguhnya tidak merata, sehingga tak semua anak mendapatkan ilmu secara optimal.
Wilayah di Indonesia yang mengalami kesulitan akses PJJ adalah Nusa Tenggara Timur, salah satunya di Kabupaten Belu. Melansir Kompas, Direktur Sekolah Dasar, Ditjen Pauddasmen, Sri Wahyuni mengungkapkan, Kabupaten Belu belum terjangkau listrik dan jaringan internet.
“Terdapat 4.000 lebih siswa tersebar di 12 kecamatan yang tidak dapat mengakses PJJ. Sementara, PJJ luring membutuhkan modul pembelajaran yang sesuai bagi siswa, guru, dan orang tua," ungkap Sri, dikutip dari anggunpaud.kemdikbud.go.id, Minggu (7/3/2021).
Jenjang SD menjadi yang paling terdampak akibat pelaksanaan PJJ di NTT. Pasalnya, jumlah SD di NTT cukup banyak, yakni lebih dari 5 ribu.
Sejalan dengan yang dikatakan Retno dan Sri, melansir Kompas, Sabtu (23/01/2021), Wasekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Indonesia (PB PGRI) Jejen Musfah mengatakan, PJJ hanya berpengaruh positif bagi sekolah-sekolah yang sudah mapan.
"Pada sekolah, guru yang tidak siap, orangtua yang tidak siap, siswa yang tidak siap, itu menjadikan apa yang disebut dengan lost learning, itu memang terjadi mau tidak mau," kata Jejen.
Maka dari itu, melihat tantangan sistem PJJ, jelas dibutuhkan fasilitas pendukung belajar di rumah untuk memastikan setiap anak tetap dapat mengakses pembelajaran dengan layak.
Di sisi lain, pemerintah juga butuh berkolaborasi dengan berbagai pihak, baik negeri maupun swasta, untuk meminimalisasi learning loss karena fasilitas belajar yang tidak merata di Indonesia. Misalnya, dengan menyalurkan sarana teknologi kepada sekolah maupun keluarga yang mengalami keterbatasan.
Sementara itu, diperlukan juga kerja sama antara orang tua dan guru untuk mendukung anak-anak belajar dengan efektif di rumah. Komunikasi orang tua dan guru sangatlah penting untuk memecahkan solusi yang dihadapi.
Infrastruktur sekolah masih tak memadai
Penutupan sekolah dapat memperlebar kesenjangan akses pendidikan. Namun, perlu disadari bahwa anak-anak Indonesia telah menghadapi kesulitan akses pendidikan berkualitas bahkan sejak sebelum pandemi, salah satunya masalah infrastruktur.
Ketersediaan infrastruktur harus dipenuhi agar para siswa dapat kembali melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM).
Banyak sekolah sudah mencoba PTM terbatas sejak awal tahun 2021 dengan menerapkan protokol kesehatan. Namun, sarana dan prasarana pendidikan juga harus turut menjadi perhatian. Karena seperti yang diketahui, tak sedikit infrastruktur dan fasilitas sekolah di berbagai daerah yang masih kurang memadai.
Terlebih, di daerah-daerah terpencil yang bahkan bangunan sekolah pun masih kurang layak bahkan memprihatinkan. Mulai dari atap sekolah yang rawan, bangunan gedung yang tak lagi kokoh, bahkan fasilitas seperti kursi dan meja belajar di kelas yang tak memadai.
Mengutip rilis Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang diterima Tribunnews, Minggu, (2/5/2021), Dewan Pakar P2G Anggi Afriansyah memaparkan data BPS tahun 2020 yang menyebutkan lebih dari 70 persen ruang kelas pada setiap jenjang pendidikan kondisinya rusak ringan/sedang maupun rusak berat.
Di sisi lain, melansir Kontan, kajian bertajuk Public Expenditure Review Spending for Better Result menunjukkan, hanya 25 persen ruang kelas di jenjang pendidikan dasar dan 40 persen ruang kelas SMA yang berada dalam kondisi memadai.
Begitu pun jika berbicara fasilitas kebersihan dan kesehatan di sekolah. Dari sumber yang sama, tercatat bahwa 20,10 persen sekolah jenjang pendidikan SD tidak memiliki sumber air layak atau tidak memiliki sumber air.
Selain itu, tidak sampai 80 persen sekolah di setiap jenjang pendidikan memiliki toilet yang terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan.
Maka dari itu, diperlukan perhatian yang lebih serius dari seluruh pihak untuk memastikan ketersediaan fasilitas penunjang pendidikan yang layak bagi seluruh anak Indonesia. Misalnya, dengan melalui program rehabilitasi infrastruktur pendidikan jangka panjang yang berkelanjutan, yang bisa dilakukan melalui kolaborasi antar sektor, seperti sektor pemerintah dengan swasta.
Memastikan akses pendidikan di masa pandemi adalah kunci untuk menciptakan peluang tercapainya pendidikan berkualitas. Bagaimanapun, anak-anak dari segala kelas sosial-ekonomi harus dapat terus belajar dengan layak.
Tak hanya pemerintah, menyediakan akses pendidikan yang layak juga membutuhkan kolaborasi multipihak, mulai dari para akademisi, korporasi, komunitas, masyarakat, dan juga para orang tua.
Pandemi memperlebar jurang ketimpangan pendidikan yang besar dengan tantangan yang lebih berat, maka itu usaha saat ini belum cukup. Dibutuhkan kolaborasi yang lebih ekstra dan lebih solid dari berbagai pihak untuk mendukung anak-anak Indonesia menjadi generasi maju.
Penulis: Nurfina Fitri Melina/Editor: Bardjan