News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Materi Sekolah

Pengaruh Sistem Tanam Paksa/Cultuur Stelsel Pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia

Penulis: Devi Rahma Syafira
Editor: Daryono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Kebun Teh di Wonosobo. Pengaruh Sistem Tanam Paksa/Cultur Stelsel Pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia.

TRIBUNNEWS.COM -  Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel).

Dikutip dari Buku SMP/MTS IPS Kelas VIII (2017) Oleh Mukminan, kebijakan tanam paksa diberlakukan karena Belanda menghadapi kesulitan keuangan akibat perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Belgia (1830-1831).

Adapun tanaman teh, kopi, kakao, sebagai tanaman ekspor utama Belanda dari Indonesia pada masa penjajahan.

Ketentuan kebijakan tanam paksa yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda sangat memberatkan masyarakat Indonesia.

Terutama, pelaksanaannya penuh dengan penyelewengan sehingga semakin menambah penderitaan rakyat Indonesia.

Banyak ketentuan yang dilanggar atau diselewengkan baik oleh pegawai Belanda maupun pribumi.

Baca juga: Mengenal Sel Jaringan Tumbuhan: Jaringan Meristem, Kambium Vaskuler, dan Kambium Gabus (Felogen)

Baca juga: Mengenal Serat Alam: Sudah Digunakan Sejak 2640 SM, China yang Pertama Mengolahnya

Kebun teh (Johnson Simanjuntak/Tribunnews.com)

Praktik-praktik penekanan dan pemaksaan terhadap rakyat:

a. Menurut ketentuan, tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah yang dimiliki rakyat.

Namun kenyataannya, selalu lebih bahkan sampai ½ bagian dari tanah yang dimiliki rakyat.

b. Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.

c. Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang memadai.

d. Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.

Penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan Tanam Paksa ini dapat dilihat dari jumlah angka kematian rakyat Indonesia yang tinggi akibat kelaparan dan penyakit kekurangan gizi.

Pada tahun 1848-1850, karena paceklik, 9/10 penduduk Grobogan, Jawa Tengah mati kelaparan.

Dari jumlah penduduk yang semula 89.000 orang, yang dapat bertahan hanya 9.000 orang.

Penduduk Demak yang semula berjumlah 336.000 orang hanya tersisa sebanyak 120.000 orang.

Data ini belum termasuk data penduduk di daerah lain, yang menunjukkan betapa mengerikannya masa penjajahan saat itu.

Tentu saja, tingginya kematian tersebut bukan semata-mata disebabkan sistem Tanam Paksa.

Sistem ini membuat banyak pihak bersimpati dan mengecam praktik Tanam Paksa.

Kecaman tidak hanya datang dari bangsa Indonesia, tetapi juga orang-orang Belanda.

Mereka menuntut agar Tanam Paksa dihapuskan.

Selain itu, kecaman dari berbagai pihak tersebut membuahkan hasil dengan dihapusnya sistem Tanam Paksa pada tahun 1870.

Orang-orang Belanda yang menentang adanya Tanam Paksa tersebut di antaranya Baron van Hoevel, E.F.E. Douwes Dekker (Multatuli), dan L. Vitalis.

Pada tahun 1870, keluar Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan yang menegaskan bahwa pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk.

Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun.

Tanah penduduk dapat disewa selama 5 tahun, dan ada juga yang disewa sampai 30 tahun.

Pada tahun yang sama juga (1870) keluar Undang-undang Gula (Suiker Wet), yang berisi larangan mengangkut tebu keluar dari Indonesia.

Tebu harus diproses di Indonesia.

Baca juga: Cita Rasa Manis Kuliner Jawa dan Sejarah Kejayaan Industri Gula di Solo

Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta.

Pihak swasta diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru.

Melalui UU Gula, perusahaan-perusahaan swasta Eropa mulai berinvestasi di Hindia-Belanda di bidang perkebunan.

Sejak UU Agraria dan UU Gula dikeluarkan, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Indonesia.

Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan.

Tanah jajahan di Indonesia berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa dan tempat penanaman modal asing, tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa, serta penyedia tenaga kerja yang murah.

(Tribunnews.com/Devi Rahma)

Artikel Lain Terkait Materi Sekolah

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini