Batik tersebut terdapat harmonisasi antara alam semesta yang tertib, serasi, dan seimbang.
Para pembatik keraton membuat batik dengan cara yang tidak biasa, yaitu menggunakan banyak proses dan ritual pembatikan.
Para pembatik keraton ibarat ibadah, suatu seni tinggi yang patuh pada aturan serta arahan arsitokrat Jawa.
Istilah-istilah batik pun mulai dikenal sejak zaman ini dan hampir semuanya menggunakan istilah dalam bahasa Jawa.
Ragam hias yang diciptakan pun bernuansa kontemplatif, tertib, simetris, bertata warna terbatas seperti hitam, biru tua (wedelan), dan soga/coklat.
Ragam hias ini memiliki makna simbolik yang beragam.
Oleh karena itu, batik dikenal masyarakat sebagai kebudayaan nenek moyang dari daerah Jawa.
Batik pedalaman sering disebut juga sebagai batik klasik.
Hal ini sesuai dengan beberapa alasan di atas.
Namun, akibat perkembangan masyarakat, maka batik dapat keluar dari kalangan keraton dan menyebar ke seluruh pelosok tanah air, sejalan dengan adanya integrasi budaya.
Motif truntum merupakan lambang cinta kasih yang tulus tanpa syarat, abadi, dan semakin lama semakin terasa subur berkembang (tumaruntum).
2. Batik pesisir
Batik pesisir adalah batik yang berkembang di masyarakat yang tinggal di luar benteng keraton, sebagai akibat dari pengaruh budaya daerah di luar Pulau Jawa.
Selain itu, adanya pengaruh budaya asing seperti Cina dan India, termasuk agama Hindu dan Budha yang menyebabkan batik tumbuh dengan berbagai corak yang beraneka ragam.