TRIBUNNEWS.COM - Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap tahun pada tanggal 9 Februari.
HPN bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan ditetapkan sesuai Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985, yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985, dikutip dari Indonesia Baik.
Dewan Pers lalu menetapkan Hari Pers Nasional dilaksanakan setiap tahun dan dirayakan secara bergantian di Ibukota Provinsi se-Indonesia.
HPN lahir berkat adanya peran wartawan sebagai aktivis dalam pemberitaan yang membangkitkan kesadaran nasional masyarakat.
Para wartawan menyadari peran mereka yang begitu penting, sehingga terbentuklah organisasi bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Pada Kongres PWI ke-28 di Padang (1978), mereka membahas Hari Pers Nasional.
Tokoh-tokoh pers yang terlibat Kongres, ingin memeringati kehadiran dan peran pers Indonesia secara nasional.
Tujuh tahun kemudian, Hari Pers Nasional secara resmi ditetapkan pada 9 Februari.
Penetapan Hari Pers Nasional tertuang Keputusan Presiden RI No.5 Tahun 1985.
Baca juga: LaNyalla: HPN Harus Jadi Momentum Bangun Persatuan Bangsa
Profil Tirto Adhi Soerjo
Sejarah HPN tak lepas dari Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional sekaligus perintis jurnalistik nasional, dikutip dari DPAD Jateng.
Beliau mendirikan surat kabar pertama yang dimiliki dan dikelola oleh pribumi, yaitu Medan Prijaji (Bandung, 1907-1912).
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo adalah perintis Pers Nasional Indonesia dan tokoh kebangkitan Nasional Indonesia.
Tirto Adhi Soerjo lahir di daerah Blora, Jawa Tengah, namun ia lebih lama tinggal di wilayah Bandung, Jawa Barat.
Ia gemar menulis dan mengirimkan tulisannya ke beberapa surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa.
Tirto juga pernah membantu Chabar Hindia Olanda pimpinan Alex Regensburgh selama dua tahun.
Ia lalu pindah menjadi redaktur Pembrita Betawi, Pimpinan F. Wriggers, yang tak lama kemudian digantikan oleh Tirto.
Tirto Adhi Soerjo mengenyam pendidikan di sekolah HBS Belanda dan meneruskan studinya sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia.
Namun, karena lebih sibuk menulis di media masa, ia akhirnya tidak menyelesaikan sekolah dokternya.
Baca juga: Kumpulan Link Twibbon Hari Pers Nasional 9 Februari 2022, Dapat Dibagikan di Instagram dan WA
Karier Tirto Adhi Soerjo di Bidang Jurnalistik
Selama tinggal di Bandung, Tirto mendirikan 3 surat kabar, yakni Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908).
Surat kabar Medan Prijaji menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) dan seluruh proses produksi dan penerbitannya dikerjakan oleh pribumi asli, sehingga dianggap sebagai surat kabar Nasional yang pertama kali terbit.
Medan Prijaji digemari oleh masyarakat pada waktu itu, karena adanya satu rubrik khusus yang menyediakan penyuluhan hukum gratis.
Lalu, pada 1906 (dua tahun sebelum organisasi Budi Utomo lahir), Tirto telah mendirikan organisasi pribumi bercorak modern pertama yang diberi nama Sarikat Priyayi.
Perkumpulan inilah yang kemudian melahirkan surat kabar Medan Prijaji pada tahun 1907.
Tirto bersama H.O.S Tjokroaminoto, lalu mendirikan Sarikat Dagang Islam (SDI), yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam, pada tahun 1909 di Jakarta.
Tirto Adhi Soerjo dan Pemikiran Kritisnya
Dikutip dari laman Kemdikbud, Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum.
Gaya kewartawanan dan metode jurnalistik yang diterapkan oleh Tirto Adhi Soerjo mengikuti metode T. Pangemanan dan Razoux Kuhr.
Di bawah kepala surat kabar Medan Prijaji tertulis, "orgaan boeat bangsa jang terperintah di Hinia Olanda, tempat memboeka soearanja."
Moto yang disampaikan oleh Tirto Adhi Soerjo pada masa itu sudah dianggap radikal oleh pemerintah Belanda.
Jika dibandingkan dengan moto dari surat kabar lain sangat berlainan, misal Sinar Sumatra, "Kekallah keradjaan Wolanda, sampai mati setia kepada keradjaan Wolanda."
Sebagai seorang penulis, R.M. Tirto Adhi Soerjo dikenal dengan tulisannya yang sering disebut sebagai bacaan politik dan diklaim dalam dunia sastra sebagai "bacaan liar".
Dia adalah orang yang pertama kali merintis perlunya bacaan bagi rakyat Hindia yang tidak terdidik.
Dia memulainya dengan menerbitkan artikel "Boycott" di surat kabar Medan Prijaji.
Artikel "Boycott" dijadikannya senjata bagi orang-orang lemah untuk melawan para pemilik perusahaan gula.
Penulisan artikel itu berdasarkan peristiwa pemboikotan pertama kali yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan Eropa.
Hal tersebut dipicu oleh perusahaan-perusahaan Eropa yang menolak permintaan orang-orang Tionghoa untuk memperoleh barang.
Orang-orang Tionghoa lalu membalas tindakan mereka dengan memboikot produk perusahaan-perusahaan Eropa.
Pemboikotan itu menyebabkan hampir sekitar 24 perusahaan Eropa di Surabaya gulung tikar.
Baca juga: Di Peringatan Hari Pers Nasional 2022, Wapres: Indonesia Harus Berdikari Secara Digital
Pengasingan dan Kematian Tirto Adhi Soerjo
Makna dan nilai artikel "Boycott" ini sangat penting bagi produk penulisan bacaan yang menentang kediktatoran kolonial di masa selanjutnya.
Artikel ini merupakan pendorong bagi orang bumiputra lainnya karena Tirto Adhi Soerjo menyadarkan mereka melalui bacaan-bacaan politik yang sangat diperlukan untuk membuka mata dan daya kritis orang bumiputra yang selama itu dikungkung oleh cerita-cerita kolonial.
Dia berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
Tirto mengalami beberapa kali pengasingan oleh Pemerintah Belanda karena pemberitaan di surat kabar Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintah.
Ia dibawa keluar dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo meninggal pada tanggal 7 Desember 1918.
Ironisnya, tak satu pun surat kabar yang memuat berita kematiannya.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Hari Pers Nasional