TRIBUNNEWS.COM, Aceh - Program Ekowisata Ujung Tamiang merupakan program pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat tanpa merusak kelestarian lingkungan.
Program ini diinisiasi oleh PT Pertamina EP Asset 1 Rantau Field bekerja sama dengan Yayasan Satu Cita Lestari Indonesia (YSLI) dan didukung Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah Aceh.
Berawal dari issue pelestarian satwa Tuntong Laut, program ini kemudian berkembang kepada pengembangan kapasitas masyarakat dengan membentuk Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Pusung Kapal.
Kegiatan konservasi satwa langka Tuntong Laut sudah dimulai sejak tahun 2011 dan pada tahun 2017 Pertamina EP mulai mengembangkan program tersebut. Pendirian fasilitas sarana dan prasarana seperti Rumah Informasi Tuntong (RIT) dilakukan sebagai salah satu media bagi masyarakat untuk mengetahui mengenai satwa Tuntong Laut.
Saat survey awal dilakukan kepada anak – anak sekolah di wilayah tersebut, lebih dari 80% siswa mengatakan tidak tahu tentang spesies Tuntong Laut (sumber: wawancara YSLI).
Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi namun juga karena kebiasaan masyarakat di masa yang lalu dengan budaya ‘betuntong’ untuk mencari telur Tuntong menjadi panganan khas.
Sejak program ini diluncurkan berkat kerjasama yang baik dengan empat pihak, sudah ada peraturan daerah (Qanun) yang mengatur tentang porsi pemanfaatan telur Tuntong dan substitusi penggunaan telur ayam sebagai bahan bakunya.
Program ini juga menjadi ‘endorser’ terkait perlindungan satwa melalui Permen LHK No. P.20/MENLHK/Setjen/kum.1/6/2018.
Rantau Field Manager Totok Parafianto di sela kunjungan ke salah satu mitra CSR, Rabu (06/11), mengungkapkan bahwa dampak yang diharapkan tidak hanya dari sisi lingkungan saja, tetapi juga yang menghadirkan keuntungan bagi masyarakat.
“Program pemberdayaan Ekowisata Ujung Tamiang dibentuk guna menciptakan alternatif lapangan kerja baru yang ramah lingkungan sehingga masyarakat pesisir tidak bergantung lagi pada mata pencaharian mereka yang dapat merusak lingkungan (seperti menebang kayu mangrove untuk dijadikan arang dan mengambil telur satwa langka Tuntong Laut untuk diperjualbelikan)”, terangnya.
Penekananan pada konsep ekowisata diharapkan dapat menjaga keseimbangan ekosistem namun masih mampu memberikan dampak kepada masyarakat melalui peningkatan ekonomi. Masyarakat melalui POKDARWIS diarahkan untuk menciptakan atraksi wisata yang dapat menarik pengunjung untuk datang.
Guna mendukung kegiatan ekowisata, seluruh potensi lokal seperti hasil tangkapan laut yang ada di wilayah Kampung Pusung Kapal diolah untuk dijadikan oleh-oleh khas daerah tersebut (seperti blacan/terasi).
Lebih lanjut Totok mengungkapkan, “Tentu saja ini bukan merupakan pekerjaan rumah yang mudah, pendampingan intensif dilakukan sejak program berjalan hingga kini. Salah satu potensi permasalahan yang dijumpai adalah banyaknya limbah kayu apung (driftwood) yang berasal dari aliran sungai dan laut di pinggiran pantai sehingga menghambat Tuntong Laut untuk bertelur saat musim telur tiba. Permasalahan ini kemudian dilihat sebagai peluang untuk menjadikan sampah kayu apung tersebut menjadi bahan kerajinan (souvenir) khas dari lokasi tersebut. “, pungkasnya. (*)