News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Piala Dunia 2010

Ramainya Berburu Tiket Final

Editor: Widiyabuana Slay
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Selebrasi gol Spanyol atas Jerman yang dicetak Puyol menit ke-73 pada pertandingan semifinal Piala Dunia 2010.

Laporan Wartawan Tribunnews.com dari Afrika Selatan, Nurfahmi Budi

TRIBUNNEWS.COM
- Suasana kota Johannesburg menjelang partai final antara Belanda kontra Spanyol, dinihari nanti, makin meriah. Begiu mendarat di OR Tambo International Airport dari Cape Town, langsung terlihat aneka umbuk-umbul yang memberitahukan partai puncak tersebut. Suasana bandara makin ramai dengan kedatangan para fans, baik dari rute domestik maupun di terminal kedatangan internasional.

Mereka datang secara bergerombol dengan membawa atribut negara masing-masing. Uniknya, para suporter tersebut mengaku belum memiliki tiket untuk melihat partai final. "Saya hanya datang dengan alasan berlibur dan mendapat undangan dari teman di Cape Town. Setelah datang, saya langsung terbang ke Johannesburg dan bergabung bersama teman-teman lain untuk menyaksikan final. Saya baru akan mencari tiket hari ini, dan berharap masih mendapat meski di pasar gelap," tukas Hans van Roon, seorang suporter Belanda, yang kemarin terbang bersama Tribun dari Cape Town ke Johannesburg.

Ucapan Hans memang menjadi representasi dari apa yang terjadi pada teman-temannya, sesama suporter yang nekad baru datang menjelang partai final. Sebagian dari mereka jelas-jelas tak memiliki tiket sebelum datang, dan memilih untuk mencari begitu mendarat di Afrika Selatan (Afsel).

Wajah mereka memancarkan sinar optimis. Tak heran kalau semua itu membuat Tribun penasaran bagaimana mereka nantinya bisa memeroleh tiket partai final. "Kami sudah terbiasa dengan suasana final, jadi selalu ada celah untuk mendapatkan tiket meski kali ini pasti harganya sangat mahal," imbuh Hans.

Tanpa pikir panjang lagi, Tribun menawarkan diri untuk ikut serta dalam perburuan tiket partai final tersebut. Hans mengangguk, dan bersama beberapa rekannya dari Belanda, mereka langsung menuju ke Johannesburg. Tempat pertama yang mereka sambangi adalah kawasan Midrand. Pada sebuah perumahan mewah, Hans menemui seseorang berwajah Holland. Setelah bercakap-cakap sebentar, dan memasang tampang serius, dia lalu bergabung bersama rombongan kami untuk menuju ke pusat kota Joburg.

Rombongan langsung menuju hotel Garden Court, yang terletak persisi di samping pusat komando FIFA selama piala dunia berlangsung, dan Sandton Convention Centre, markas Adidas dan panitia penyelenggara piala dunia 2010.

Masuk ke lobi hotel dengan warna kebesaran krem tersebut, Hans, Tribun dan teman baru yang dijemput di kawasan Midrand, langsung menuju ke lantai tujuh hotel. Sementara beberapa kawasan Hans hanya menunggu di bagian lobi. Tak berapa lama, kami sampai di kamar 711, sebuah level yang cukup tinggi. Masuk ke kamar berkategori luxury ini, Tribun langsung melihat beberapa wajah bertampang Prancis. Tebakan Tribun benar, karena saat mereka menyapa dengan bahasa Inggris, logat kental Prancis sangat kentara.

Mereka sempat menanyakan keberadaan Tribun di ruangan tersebut, namun Hans membela dengan menyebut kalau sobat barunya itu datang juga ingin mengetahui posisi tiket untuk partai final yang sangat bersejarah bagi Eropa itu. "Kalau ada apa-apa tentang kita, saya yang bertanggung jawab penuh dengan dia," bela Hans, sembari memandang kepada Tribun.

Setelah berbasa-basi sembari menikmati kopi, Hans sepertinya ingin cepat memastikan apakah ia dan teman-temannya masih bisa mendapatkan tiket untuk pertandingan final nanti. Dan seperti sudah terbiasa bertemu, sang sobat Prancis Hans langsung menegaskan,"Jangan khawatir, berapapun tiket yang Anda inginkan, seperti biasa, saya jamin selalu ada dan bukan tiket palsu," tegas si Perancis.

Wajah Hans pun sumringah bukan kepalang. Seolah sudah mengerti berapa duit yang harus dikeluarkan, Hans pun merogoh kocek, mengeluarkan satu amplop coklat berukuran sedang, sekitar 5 x 20 cm, dan menjatuhkan isinya. Tak pelak, uang pecahan seratus dolar AS pun muncul di atas meja.

Segera si Perancis menghitung uang kertas yang sudah tertata rapi dengan menggunakan penjepit plastik tersebut. Total, 20 ribu dolar AS yang harus dikeluarkan Hans. Selesai menghitung, si Prancis langsung menelpon seseorang, yang sepertinya diminta untuk mengantarkan sesuatu ke kamar tempat ia menginap. Berselang 15 menit, seorang berkulit hitam sudah bergabung bersama kami. Dia membawa map hijau, dan setelah dibuka ternyata berisi karcis level VIP!. Ada sepuluh karcis di sana, tanpa nama pemesan dan hanya menunjukkan nomor blok dan tempat duduk.

"Seperti sudah saya katakan tadi, selalu saja ada tiket yang bisa dibeli, asalkan ada uang, semuanya lancar dan saya bisa menyaksikan partai final tanpa harus mengantre tiket, dan ini sudah biasa di FIFA. Mereka punya orang dalam untuk menahan beberapa ratus tiket kelas atas, karena mereka tahu banyak orang kaya yang akan membeli," ungkap Hans, yang sudah melakukan sistem ini sejak tahun 1994, kala piala dunia dihelat di Amerika Serikat (AS).

Tribun pun lantas menghitung berapa keuntungan yang didapat dalam jaringan tersebut. Harga asli tiket kelas VIP di Soccer City untuk pertandingan final sebenarnya hanya 2 ribu Rand alias Rp 2,6 juta per lembar. Artinya, jika Hans ingin membeli sepuluh tiket, seharusnya ia hanya membayar 20 ribu Rand saja. Namun karena partai final, dan menjadi sejarah pertama bagi Afrika, harga tiket memang melonjak drastis.

Satu tiket kelas VIP dijual dengan harga 2 ribu dolar AS, bukan 2 ribu Rand atau hanya 300 dolar AS saja. Jadi bisa dibayangkan keuntungan yang didapat para calo papan atas tersebut. Satu tiket mereka bisa mengambil keuntungan sekitar 1700 dolar AS atau Rp 16,5 juta.

Andai ada 100 orang seperti Hans yang rela membayar mahal, pendapatan sang calo tentu sangat besar. Paling hanya tersedot untuk membayar orang dalam FIFA sendiri. "Mereka sangat rajin dan rapih dalam bekerja, nyaris tak akan pernah terdeteksi oleh siapapun. Mungkin itu sudah menjadi bagian dari budaya di dalam mereka untuk mengeruk keuntungan," tutur Hans, yang langsung pamitan untuk menuju hotel tempatnya menginap bersama ke-9 teman Belandanya.

Tribun masih penasaran. Apa yang diucapkan Hans memang sudah beberapa kali dialami Tribun. Saat berada di Cape Town misalnya, ada yang menawari tiket kelas III dengan harga normal 400 Rand, mendadak menjadi 400 dolar AS uuntuk partai semifinal antara Jerman vs Spanyol.

Mencari tahu bagaimana posisi tiket terakhir, Tribun pun menuju ke Nelson Mandela Square, tempat lebih banyak calo kelas `rendah' beroperasi. Dan benar saja, ternyata para calo itu masih berkeliaran dengan menunjukkan tiket tanpa nama, seperti apa yang diraih Hans. Hebatnya, tiket mereka asli, karena bisa dilihat dari hologram yang diciptakan khusus sebagai pengaman.

Harga yang beredar di calo-calo tersebut memang menggila. Rata-rata mereka menjual dengan harga termurah seribu dolar AS untuk tiket yang aslinya hanya 200 Rand saja. Para calo pun berpesta, karena tetap saja banyak orang yang membeli, tentu dengan alasan momen ini terjadi empat tahun sekali, bahkan mungkin saja untuk mereka sekali seumur hidup bisa merasakan aroma piala dunia di Afsel.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini