Di kualifikasi ia menjadi top skor negaranya dengan sebelas gol, dan tiga assist, atau hampir 45% dari gol keseluruhan Denmark sebanyak 25 gol.
Adalah berkat hattrick Christian Eriksen ke gawang Irlandia Utara pula, akhirnya tim Dinamit bisa lolos dari babak playoff ke Rusia dengan skor agregat 5-1.
Di klubnya sendiri, Tottenham Hotspur (Spurs), Christian Eriksen menjadi motor serangan yang membuat The Lilywhite konsisten masuk dalam empat besar di tiga musim terakhir.
Pertanyaannya, kendati selalu menjadi motor tim dan punya kualitas kelas atas, tapi kenapa kemampuan Christian Eriksen terkesan kurang dihargai?
Baca: Tim Brasil Menginap di Resor Mewah Bertarif Rp 12 Juta Permalam, Hotelnya Para Elite Partai Komunis
Setidaknya, di mata para penggila bola dan juga media, kelasnya Christian Eriksen dianggap masih di bawah David Silva dari Manchester City atau Roberto Firmino dari Liverpool misalnya.
Mungkin jawabannya karena, seperti dikutip dari deadspin, sang jenius ini lebih mengedepankan efisiensi, daripada gerakan yang akrobatik dan menghibur penonton.
Faktanya, torehan gol dan assist Christian Eriksen jauh melebih para gelandang serang terkenal lain, namun ia jauh dari puja-puji.
Sebab, semua aksinya dilakukan dengan tipu muslihat halus, alih-alih aksi fisik yang menggelegar dan menghibur.
Christian Eriksen memang hanya lari seperlunya, saat sedang benar-benar dibutuhkan.
Baca: Piala Dunia 2018: Karena Cristiano Ronaldo, Tessa Witarsa Dukung Portugal
Terkesan malas-malasan menggiring bola, umpannya pun sesuai standar dasar sepak bola, tanpa kejutan di sana-sini.
Tapi hasilnya, dengan gerak terbatas dan sentuhan tipis itulah, ia bisa mengubah keseimbangan tim, memainkan tempo permainan dan menghadirkan perbedaan.
Christian Eriksen adalah master efisiensi.
Jika sedang dalam penampilan puncak di Rusia nanti, sang master efisiensi ini akan menjadi peneror utama lawan-lawan Denmark di grup C yakni Peru, Australia, dan Prancis. (Tribunnews/dod)