Oleh Willy Kumurur
Penikmat bola
TRIBUNNEWS.COM - Al Rihla, bola resmi Piala Dunia 2022, telah mulai bergulir usai upacara pembukaan di Qatar.
Nama bola itu dalam bahasa Arab adalah perjalanan, akan menjadi saksi bisu dari perjalanan nasib negara-negara yang berpartisipasi dalam perhelatan akbar di negeri yang berpendapatan perkapita 1,7 miliar rupiah dan yang mempunyai Indeks Pembangunan Manusia sangat tinggi, yaitu 0,848.
Delapan stadion megah di negeri bekas protektorat Inggris (1916-1970), menjadi pentas teater dunia dalam mana Al Rihla akan ditendang oleh 352 pesepakbola dari 32 negara, ditambah 480 pemain cadangan.
Sepakbola adalah teater dunia, ujar Horst Bredekamp, sejarawan seni bangsa Jerman.
Baca juga: Alasan Kenapa Injury Time di Piala Dunia 2022 Qatar Berlangsung Sangat Lama
Penulis Austria, Egyd Gstättner, menulis, “Bagi pemain bola, sepakbola adalah olahraga (dan pekerjaan serta bisnis), namun bagi yang bukan pemain, sepakbola adalah seni, seni hidup.” Seolah mendukung pendapat Gstättner, penyanyi regae Bob Marley, mengatakan bahwa sepak bola adalah kebebasan, bola adalah seluruh alam semesta.
Di teater dunia itu akan muncul bintang-bintang muda yang kelak menggantikan pemain-pemain senior yang bintangnya mulai meredup.
Para punggawa bola kini tengah memperebutkan Al Rihla di gelanggang.
Mereka berlari dan berlari.
Apakah yang mereka cari? Kemenangan? Apakah yang manusia cari? Filsuf Plato menjawabnya di dalam bukunya Symposion, Intisari dari manusia adalah pencarian, ujarnya.
Manusia adalah mahluk yang terus-menerus mencari, tanpa pernah menemukan apa yang dicarinya. Ia memperoleh, tanpa pernah memiliki. Menurut Plato, manusia mesti bangga, dan mesti merayakannya, sebab inilah kekuatan manusia yang membedakan dengan para dewa. Sikap ini juga adalah tanda kerendahan hati.
Orang yang terus mencari berarti akan terus belajar. Ia takkan pernah puas atas hal-hal yang ia ketahui.
Dorongan untuk terus mencari ini, ujar Plato, adalah juga dorongan untuk tiba pada keabadian.
Dan keabadian itu, terefleksi melalui karya dan karsa manusia, meski usianya di dunia ini terbatas, tak abadi.
Namun Friedrich Nietzsche berpendapat lain. “Manusia—pada hakikatnya—adalah makhluk ‘pemenang’ dan selalu ingin ‘menang’,” demikian diktum “ubermensch” Nietzsche. Oleh karena itu, segala sesuatunya disiapkan untuk menang, termasuk menempuh segala cara untuk mewujudkan kemenangan (ill principle).
Kemenangan kerap didefinisikan sebagai entitas fitrah yang melekat pada sisi kemanusiaan.
Oleh karena itu, kemenangan seolah menjadi hal yang relatif, tidak mungkin untuk direduksi atau dihilangkan.
Panggung Piala Dunia 2022 menjadi “ruang dansa” bagi banyak profesional berpengalaman di panggung sepak bola termegah, tulis thesportsman.com.
Tetapi panggung itu adalah tempat pementasan drama bahwa profesional berpengalaman dapat terjungkal.
Piala Dunia adalah ajang tempat orang melihat bahwa segala sesuatu itu tidak pasti.
Bukanlah sebuah kepastian bahwa tim berpengalaman dan favorit dapat dengan mudah menang atas tim-tim anak bawang.
Siapa menyangka bahwa tim Saudi Arabia sanggup mempermalukan Argentina? Messi dkk dihajar 1-2 oleh tim asuhan Hervé Jean-Marie Roger Renard di fase grup.
Piala Dunia juga adalah panggung tempat pelbagai macam perasaan manusia ditayangkan: senyum, tawa ria, linangan air mata, amarah, kekecewaan, sampai kepedihan. Nuansa-nuansa inilah yang akan disaksikan oleh milyaran penikmat bola di planet ini sepanjang satu bulan.****