Pengamat politik sekaligus inisiator pemilu serentak Effendi Ghazali mengaku siap jika dibawa ke ranah hukum terkait usulan jika dianggap negatif.
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat politik sekaligus inisiator pemilu serentak Effendi Ghazali memberikan pernyataan terkait Pemilu 2019.
Pernyataan tersebut diungkapkan Effendi Ghazali saat menjadi narasumber acara Rosi seperti dalam channel YouTube Kompas TV, Kamis (9/5/2019).
Mulanya pembawa acara, Rosi mengatakan bahwa Effendi dikabarkan menjadi satu di antara orang yang paling bertanggungajawab atas pemilu serentak lantaran menjadi satu di antara inisiator Pemilu 2019.
Oleh karenanya, Rosi ingin mengklarifikasi apakah Effendi merasa orang yang harus bertanggungjawab atas pemilu serentak kali ini.
Dengan tegas Effendi mengatakan sebagai ilmuwan, dirinya diajari untuk tidak menjadi seorang pengecut.
Untuk itu, effendi menyatakan siap jika dibawa ke ranah hukum terkait usulan pemilu yang dilakukan secara serentak dianggap memiliki banyak negatif.
"Anda enggak boleh pengecut," ujar Effendi.
"Jadi kalau ini memang dikaitkan dengan judicial review yang lalu, ya ini lah saya."
"Kalau memang ada peraturan hukum yang mengatakan pengaju judicial review yang kemudian dikabulkan, lalu bisa diseret dengan aturan hukum, apa pun saya siap," tambahnya.
Kendati demikian, Effendi mengemukakan bahwa sebenarnya saat pengajuan usulan pemilu serentak sudah melewati kajian yang mendalam.
"Pada waktu kami mengajukan itu, penuh dengan kajian yang sangat dalam, diperkuat oleh ahli-ahli," ujarnya.
Sejumlah ahli yang dimaksud oleh Effendi meliputi Hakim Konsitutisi sekaligus ahli hukum tata negara Prof Saldi Isra, ahli hukum tata negara Irman Pyutra Sidin, pakar psikologi politik Prof Hamdi Muluk, ahli kepemiluan perludem Didik Supriyanto, dan saksi fakta KH. Slamet Effendi Yusuf.
Effendi lantas menjelaskan bahwa usulannya itu merupakan kehendak asli dari Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
"Jadi pada waktu kami mengajukan, tidak bisa tidak hakim konstitusi kalau mereka mengawal konstitusi, mereka harus mengabulkannya," jelas Effendi.
"Karena itulah original intent dari UUD kita," imbuhnya.
Effendi juga mengungkapkan bahwa usulan pemilu serentak itu sempat dipersidangkan selama satu tahun lebih.
Ia menuturkan dalam persidangan itu juga dihadiri oleh pihak-pihak terkait.
"Hadir di situ para ahli-ahli terkait, pemerintah hadir, DPR hadir, KPU Hadir, dan semua yang terkait," ungkap Effendi.
"Dari interaksi itulah, kemudian diputuskan oleh 9 hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dengan perbandingan 8 lawan 1, bahwa ini memang kehendak UUD kita," tandasnya.
Simak dari menit 2.15:
Tanggapan Effendi soal Banyaknya Petugas KPPS Meninggal
Diberitakan sebelumnya, Effendi juga sempat angkat bicara terkait Pemilu 2019.
Hal ini diungkapkan Effendi saat menjadi narasumber di acara Fakta tv One, Senin (6/5/2019).
Mulanya, pembawa acara Fakta, Balques Maningsang bertanya soal banyaknya anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia saat bertugas dalam pemilu.
"Kita sedang dalam kedukaan ada 300 lebih anggota KKPS yang gugur dalam penugasannya menjadi anggota KPPS, abang juga bersuara, kenapa bersuara dan apa isi suaranya?," tanya Balques.
Effendi lalu memberikan jawaban bahwa ada orang yang menganggap dirinya harus bertanggungjawab karena menjadi inisiator pemilu serentak hingga disetujui oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ya bersuara karena beberapa, yang pertama ada siapa namanya wartawan Dimas Sumanto kalau enggak salah mengatakan yang harus bertanggung jawab Effendi Ghazali dan Ketua MK karena mengajukan yudisial review uji Undang Undang itu ke Mahkamah Konstitusi," jawab Effendi.
"Bahkan Buya Safii Maarif seakan-akan mengatakan ini juga harusnya yang pernah mengatakan menyambut pemilu serentak ini mencabut ucapannya," tambahnya.
Pengamat politik ini lalu mengatakan soal meninggalnya petugas KPPS bukan hal yang baru.
"Kemudian pastilah ini soal jumlah yang meninggal ini menurut saya memang jangan-jangan terbesar juga dalam sejarah pemilu."
"Walaupun kita harus catat menurut Perludem di tahun 2014 ada 157 KPPS yang meninggal tapi ini kan luar biasa karena belum pernah ada anggota KPPS atau yang membantu pemilu di seluruh dunia barang kali yang gantung diri. Ada di Sleman, ketua KPPS nya gantung diri," ujarnya.
Effendi lalu menerangkan soal asal mula bisa mengajukan pemilu serentak hingga mendapatkan persetujuan dari MK.
Setelah pengajuan, Effendi menegaskan sempat memberikan penolakan atas apa yang telah disetujui oleh DPR dan pemerintah.
"Nah saya ingin mengatakan begini, bahwa saya pernah mengajukan ke Mahkamah Konstitusi ya itu fakta," ujar Effendi.
"Tapi sebetulnya Oktober di seluruh media kita bisa dengar bahwa ketika keluar hasil UU Pemilu oleh DPR dan pemerintah kami sudah bilang ke MK jangan dilaksanakan pemilu yang seperti ini, karena nanti hasilnya akan kacau."
Bahkan, untuk mempertanggungjawabkan soal pemilu serentak, Effendi Ghazali meminta agar dirinya turut dipanggil MK.
"Di Oktober 2017 ada di semua media silahkan di googling, di situ kita bilang nanti kalau terjadi apa-apa siapa yang tanggungjawab? Itu ada, harusnya MK memanggil kami kok Anda mengajukan pemilu serentak kok sekarang tiba-tiba Anda minta ditarik lagi?," ujar Effendi.
Effendi berharap, seharusnya dari pemilu serentak dan presidential threshold bisa mendapatkan 5 pasangan untuk pemiihan presiden.
Karena presidential threshold untuk mengantisipasi hanya ada 2 calon yang melaju.
Namun nyatanya mulai dari pemilu 2014 dan 2019, hanya ada dua calon dengan kandidat yang sama.
"Karena sedikit saja aspek filosofisnya, pemilu serentak itu presidential threshold-nya harus 0," ujar Effendi.
"Begini kami itu memikirkannya sejak 6 tahun yang lalu 2013, kalau pemilu serentak itu dilakukan pura-pura dengan adanya presidential threshold ini kan 20 persen, kalau dibagi 100 persen bagi 20 persen seakan-akan bisa 5 pasang, padahal kita sudah tahu nanti itu akan dibuat hanya dua pasang saja, dan terbuktikan di tahun 2014 dua pasang, 2019 dua pasang lagi."
"Kalau ini dua pasang terus, maka dalam ilmu komunikasi politik kami sudah tahu ini seakan-akan membiarkan bangsa terbelah dan diumpankan ke mulut menganga dari perusak peradaban yang namnya media sosial."
Effendi lalu menanyakan soal DPR yang seharusnya bisa menggodok pemilu serentak berkaca dari beberapa negara lain.
"Teman-teman DPR itu keliling dunia study banding pakai dana rakyat lo itu, kok mereka enggak bisa kembali dengan usulan, ada 5 tahun 2 bulan lo itu efforting misalnya atau begini masak itu KPPS harus menyalin sampai 81 kali hasil C1 itu, itu di mana ketemunya."
"KPU melakukan simulasi di 300 TPS, ini rahasianya yang harus diungkap Fakta, di tempat 300 TPS simulasi tidak ditemukan seakan-akan, tidak ditemukan penyakit akut yang bisa menyebabkan orang meninggal," tambahnya.
Lihat videonya menit ke 2.36:
(TribunWow.com/Atri/Tiffany)
Artikel ini telah tayang di Tribunwow.com dengan judul Disebut Jadi Orang Paling Bertanggungjawab atas Pemilu 2019, Effendi Ghazali: Apa Pun Saya Siap