News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2012

Lebaran Tanpa Tempe?

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Istadi (kiri) meratakan biji kedelai dalam plastik yang siap akan di fermentasi di Desa Cimanggu Barat, Kecamatan Tanah Sereal, Bogor, Jawa Barat, Senin (16/7/2012).

TRIBUNNEWS.COM,YOGYAKARTA-Baru berjalan tiga hari ramadan, harga kedelai sudah mencapai Rp 8.000 per kilogram. Padahal sebelum bulan puasa dimulai, rata-rata harganya Rp 5.600 per kilogram.

Muchlar (57), pengusaha industri tempe di Sambisari Joho Kecamatan Depok Kabupaten Sleman merasa kenaikan harga kedelai itu di luar kewajaran.

"Dengan pertimbangan bahwa tempe atau tahu makanan olahan masyarakat, kenaikan harga bahan dasarnya itu terlalu tinggi," ungkapnya, ditemui di rumahnya, Selasa (24/7).

Tak bisa dipungkiri, baginya kenaikan harga kedelai membuat usahanya hampir tidak menghasilkan keuntungan. "Tipis sekali." Jika kondisi demikian secara terus-menerus terjadi, dia memperkirakan semua industri tempe akan tutup dalam waktu dekat, dan lebaran pun bisa jadi tanpa tempe.

Dia akan menyayangkan hal itu, karena tempe selama ini merupakan makanan khas rakyat, kalangan menengah ke bawah.

Meski demikian, dia mengaku tetap mempertahankan produksinya sebisa mungkin. Dia mengistilahkan, eksistensi industri tempe yang dikelolanya itu, asal jalan saja. Pasalnya, ketika dia berusaha menaikkan harga tempe produksinya ternyata tak sepenuhnya dapat menutup pengeluaran pembelian bahan dasar kedelai yang terlalu tinggi.

Belum lama ini, dia mengaku memang menaikkan harga kepada sejumlah agen di bawahnya sebagai reaksi atas kenaikan harga kedelai. Jika biasanya agen-agen itu mengambil kedelai siap produksi dan kemasannya seharga Rp 6.100 per kilogram, kini dinaikkannya menjadi Rp 7.200 per kilogram.

"Kenaikan Rp 1.000 ternyata tidak menutup lonjakan harga bahan dasar kedelai yang mencapai Rp 2.500 per kilogram," tuturnya.

Perajin tempe yang telah berkiprah selama 32 tahun itu mengaku tidak banyak pengetahuan terkait penyebab kenaikan harga kedelai. Kegelisahannya selama kenaikan itu hanya terjawab lewat pemberitaan media, meski tak selalu membuatnya puas dan paham.

Jika benar kenaikan itu, sebagaimana diberitakan, terjadi karena cuaca ekstrim di negara penghasil kedelai atau import besar-besaran oleh China, dia hanya pasrah. Dia menyadari bahwa tempenya juga tergantung dari import kedelai.

"Baik buruknya produksi perajin tidak berpengaruh pada harga kedelainya. Ini harus pemerintah yang mengambil langkah bijak," ujarnya.

Sebenarnya kuantitas produksinya stabil, rata-rata per hari 2 ton. Menurutnya, bahkan di awal puasa sempat meningkat. Hanya, keuntungannya minim. Solusinya, meski dia mengaku berusaha mempertahankan kualitasnya, namun tak dipungkirinya bahwa ukuran tempe produksinya kini dibuat lebih tipis dibanding biasanya.

"Begitu lebih baik daripada harus menaikkan harga tempe, yang akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat," lanjut pengusaha dengan 20an karyawan itu.

Urusan menaikkan harga tempe memang sensitif baginya. Satu sisi dia berusaha menyesuaikan dengan harga kedelai yang melambung. Di sisi lain, kenaikan harga tempe secara tiba-tiba tidak dapat diterima masyarakat.

Yang jelas, ongkos produksinya itu menurutnya tinggi. Pasalnya dia tidak menggunakan bahan bakar kayu, melainkan solar demi menutup tingginya order dari berbagai pasar.

Wacana aksi menutup industri oleh kalangan perajin tempe di berbagai daerah menurutnya wajar. Dia pun mengaku bukan tidak mungkin ikut melakukannya. Dijelaskan, hanya dengan cara menutup, dalam tiga atau empat hari, harga tempe dapat dinaikkan ketika kemudian industrinya buka kembali.

Namun, baginya, cara itu pun harus dengan kesepakatan antara pihaknya dan beberapa agen di bawahnya. Agen-agen yang dimaksudkannya itu adalah mereka yang mengambil kedelai siap produksi darinya untuk kemudian diproses dan dikemasi.

Sejauh ini langkah kesepakatan semacam itu belum pernah ditempuhnya dalam konteks untuk mengatasi adanya kenaikan harga yang tidak wajar. Pada kenaikan harga kedelai saat pilpres di mana Jk - SBY terpilih kali terakhir, menurutnya kenaikannya tak sebesar saat ini.

"Kenaikan saat ini bukan tidak mungkin memaksa industri tutup. Tapi sejauh ini di DIY - Jateng saya belum dapat kabar soal tutup," tuturnya.

Sebelum hal itu terjadi, dia sebenarnya berharap pemerintah segera mengambil langkah untuk menstabilkan harga. Idealnya, menurutnya, harga kedelai Rp 6.000 per kilogram. Belum lagi, dia khawatir jika kondisi ini dimanfaatkan beberapa pihak untuk melakukan penimbunan.

"Importir kan biasanya begitu. Karena barang langka, bukan tidak mungkin barang tidak disalurkan," ujarnya.

Dampak kenaikan harga kedelai ini juga dialami perajin tempe tradisional. Meski demikian, efeknya tidak sebesar yang dialami perajin dengan perangkat modern seperti Muchlar. Dwijosunaryo (60), perempuan perajin tempe tradisional asal Joho Depok Sleman mengatakan, perajin tradisional biasanya mengambil kedelai dari pemasok di Ngabean Yogyakarta dengan harga Rp 7.600 per kilogram.

"Kenaikannya tidak terlalu tinggi.Sebelumnya kan Rp 7.000 perkilogram," kata Dwijosunaryo.

Namun demikian, dia juga melakukan pengurangan ukuran tempe. Tempe produksinya yang khas berbungkus daun pisang itu kini menjadi lebih tipis dari sebelumnya. Dengan produksi 12 kilogram per hari atau senilai Rp 160 ribu, jika stabil maka tidak ada lagi masalah.

"Saya harap setelah puasa harga bisa turun," lanjut perempuan yang punya nama muda Ponirah itu.

Berita Terkait: Pemilihan Gubernur DKI
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini