TRIBUNNEWS.COM, BANTUL – Sudah sejak ratusan tahun lalu, warga di sekitar Masjid Sabilurrosyad Dusun Kauman, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, melakukan tradisi membatalkan puasa dengan makan bubur dan sayur serta segelas teh manis bersama-sama di Masjid.
Selama satu bulan penuh, pihak Takmir Masjid menyediakan ratusan porsi bubur tajil untuk warga yang ingin berbuka puasa di masjid. Bahkan terkadang tradisi ini dimanfaatkan warga sekitar untuk berkumpul dengan saudara yang datang dari luar daerah.
Setiap hari, empat tukang masak yang juga turun temurun (Zurkoni, Wardani, Jamhani, Hasanudin), selalu menyiapkan bubur beserta lodeh ( sayur tahu dan tempe) untuk tajil di Masjid peninggalan Panembahan Bodho (Raden Trenggono) yang didirikan sekitar akhir abad XIV itu.
Sejak pukul 14.00 wib, mereka mulai meracik berbagai bahan masakan di dapur yang letaknya di samping kanan bangunan masjid. Menjelang adzan magrib, mereka mulai menuangkan bubur beserta lodeh ke dalam piring. Setiap hari, sedikitnya membutuhkan rata-rata 4,5 kilogram lebih beras untuk dimasak.
Menurut Takmir Masjid Sabilurrosyad, Hariyadi, tradisi berbuka puasa dengan bubur ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu semenjak Panembahan Bodho masih hidup. Selain sehat untuk pencernaan setelah seharian berpuasa, tradisi ini memiliki nilai filosofis seperti yang diajarkan oleh Panembahan Bodho.
Pertama Bibirrin, artinya di Masjid adalah sebagai sumber dan pusat kebaikan. Kedua Beber, artinya menjelaskan tentang agama Islam secara gamblang yang saat itu disampaikan Panembahan Bodho. Termasuk pada zaman dahulu makanan juga dijadikan sebagai sarana dakwah.
Ketiga Babar, artinya ajaran Islam harus bisa mengena dan bisa diterima semua lapisan masyarakat. Terlebih, kata Hariyadi, Panembahan Bodho yang juga murid Sunan Kalijaga itu juga menjadi ulama yang menyebarkan agama Islam di wilayah selatan Jawa.
Keempat Bubur, artinya melebur yang dimaksudkan bahwa ajaran Islam harus dapat melebur dalam jiwa setiap pemeluknya.
“Tradisi berbuka dengan bubur seperti ini sebenarnya juga dilakukan di masjid peninggalan Waliyullah lainnya seperti di Masjid Kauman Semarang, dan Masjid Darussalam Serengan Solo dengan Bubur Samin. Semua memiliki makna sama,” katanya, belum lama ini.
Hariyadi mengungkapkan, untuk kebutuhan beras, kayu bakar, sayuran, dan lainnya di masjid Sabilurrosyad ini merupakan hasil sumbangan dari masyarakat. Bahkan ada yang menyumbangkan beras hingga berkarung-karung serta sejumlah uang untuk membeli sayuran.
“Kita sebagai generasi penerus akan terus menjaga tradisi ini. Karena selain sehat, juga sarana untuk memeriahkan syiar Islam di bulan Ramadan,”ujarnya.
Salah satu juru masak, Wardani (60), yang juga warga Kauman mengungkapkan, sebenarnya untuk tukang masak tidak harus laki-laki. Meskipun selama ini memang dilakukan oleh laki-laki secara turun temurun. Ia sendiri sudah menjadi tukang masak saat bulan Ramadan di masjid ini sejak masih remaja.
“Sebenarnya yang masak siapa saja boleh, ibu-ibu juga boleh. Cuma karena ga ada yang mau, jadi ya kita-kita saja yang masak,” ujarnya di sela mempersiapkan bubur untuk buka puasa.