TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Pondok Pesantren Kaliopak mengisi Ramadan dengan cara yang berbeda. Pesantren ini mengkaji lakon wayang tiap seminggu dua kali. Disamping itu diaji pula tafsir berbahasa Jawa karangan KH Bisri Musthofa, Al-Ibriz, tiap hari.
"Wayang adalah bayang-bayang kita sendiri. Dengan mengkaji lakon wayang kita dapat introspeksi dan mengukur diri kita dalam menjalankan perjalanan sebagai hamba Allah. Mengaji wayang juga mengaji kitab kuning. Itu merupakan tafsir sufisme Jawa," ungkap M Jadul Maula, Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak Yogyakarta, seperti dikutip Tribunnews.com dari situs NU Online.
Selain mengaji atau diskusi lakon wayang, di Kaliopak juga mengkaji Tafsir Ibriz. "Al-Ibriz merupakan tafsir dalam bahasa Jawa. Itu merupakan bagian dari kontekstualisasi. Itu merupakan kekayaan khazanah Islam Nusantara," tambahnya.
Mengkaji Tafsir Al-Ibriz menurut Jadul Maula, adalah upaya mengakrabkan kembali mahasiswa dengan huruf pegon. Itu merupakan peninggalan ulama Nusantara. Ulama Islam Nusantara mempunyai kapasitas bisa mencapai derajat keagamaan yang diakui. Dengan pegon kita, ulama kita dapat berkarya yang sederajat dengan ilmu di Persia, Timur Tengah dan wilayah lain.
"Dengan mengkaji lakon wayang, kami ingin mengubah status wayang bukan lagi hanya liburan tapi ngaji. Dahulu masyarakat mendatangi pagelaran wayang dengan memakai pakaian Isalam," tandas M Jadul Maula.
"Adegan keseluruhan pagelaran wayang dibagi tiga adegan. Adegan pertama, menerangkan manusia mulai lahir. Anak-anak remaja menghadapi masalah, tapi tidak mempunyai arah. Sedangkan adegan yang kedua menceritakan menjelang dewasa, anak sudah bisa memilih apa yang benar dan apa yang salah. Dan adegan yang ketiga adalah berani melawan nafsu sendiri," imbuhnya.
Menurut M Jadul Maula, wayang adalah sebagai titik tolak proses meditasi seseorang. Selain itu, jalan pertama masuknya Islam ke jawa adalah dengan wayang. Kalau ada orang yang menolak wayang maka sama halnya dengan menolak ibunya.