News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mutiara Ramadan

Proses Perkembangan Jiwa

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Komaruddin Hidayat.

Oleh: Prof Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Sarif Hidayatullah

SEMAKIN seseorang lanjut usia, daya dukung jiwa nabati (vegetative soul) dan jiwa hewani (animal soul) semakin melemah. Puncak pertumbuhan organ dan jiwa nabati mungkin mentok pada usia 25 tahun dan puncak kesegarannya bertahan sampai usia 50-an.

Begitupun daya dukung jiwa hewani semakin lanjut usia seseorang semakin melemah. Namun, mestinya yang terus bertahan dan justru semakin berkembang adalah jiwa insani dan jiwa robbani-nya. Bagi mereka yang meyakini dalam diri manusia terdapat ruh ilahi yang mesti kembali ke asalnya, pada dasarnya hidup itu sebuah progres dan pertumbuhan untuk menyempurnakan perkembangan jiwanya ke arah lebih religius (Alquran 91: 7,8,9).

Jika jiwa seseorang telah dipimpin jiwa robbani dan kemudian menjalani hidup sesuai tuntunan ilahi, Allah menjanjikan kehidupan barunya nanti penuh kedamaian dan kebahagiaan (Alquran 89: 27,28,29,30). Tema eskatologis ini bagian sentral dalam setiap agama.

Dengan ungkapan lain, agenda utama hidup adalah berusaha menyempurnakan dirinya melalui dukungan jiwa nabati dan jiwa hewani agar kualitas jiwa insani serta jiwa robbani senantiasa meningkat. Istilah 'jiwa' bisa saja diperdebatkan secara teoritis dan teologis, namun berdasarkan pengamatan empiris terhadap wujud dan orientasi perilaku manusia sehari-hari, dalam diri manusia terdapat daya hidup nabati, hewani, insani, dan ilahi atau robbani. 

Ketika usia seseorang semakin lanjut, kekuatan dan tuntutan daya nabati dan daya hewani sudah melemah, daya insani serta robbani mestinya semakin berkembang. Semakin lanjut usia seseorang hendaknya semakin matang dan bijak karena sesungguhnya proyek kehidupan tetap berlanjut, bahkan hidup tidak berakhir dengan peristiwa kematian.

Ibarat membangun rumah, semakin mendekati selesai (finishing touch) justru pekerjaan semakin lembut dan memerlukan sentuhan kualitas seni yang tinggi. Tidak lagi terfokus pada aspek material yang kasar. Begitulah tahapan proyek dan misi kehidupan. Semakin lanjut usia mestinya lebih fokus pada peningkatan moral dan spiritual sehingga usia lanjut bukan memasuki antiklimaks.

Siddhartha Gautama, misalnya, nekad meninggalkan kemewahan istana untuk mencari hakikat hidup dan dia merasa menemukan jati dirinya yang lebih sejati dan lebih tinggi setelah melakukan inner journey. Yaitu perjalanan ke dalam diri yang bersifat spiritual dengan melakukan meditasi merenungkan hakikat dan makna hidup.

Setelah menemukan kebahagiaan batin, lalu Gautama membagi pengalaman dan kekayaan hidupnya untuk sesama manusia sehingga dia dikenal sebagai seorang pencerah zaman yang getarannya masih berlangsung sampai hari ini.

Pemuda Muhammad yang kemudian menjadi Rasulullah pada awalnya juga melakukan meditasi ke Gua Hira untuk merenungkan apa sesungguhnya makna dan tujuan hidup ini. Dia membaca ayat-ayat semesta untuk mencari jejak Sang Penciptanya.

Pada tahap itu sudah tentu yang aktif bukan tataran jiwa hewani, melainkan daya refleksi insani yang dipandu oleh daya robbani untuk masuk ke alam metafisika. Setelah menjadi Rasulullah, perjalanan dan pendakian spiritualnya melangkah lebih jauh lagi dengan bimbingan Jibril yang dikenal sebagai peristiwa mikraj.

Kendati begitu, Rasulullah tetap kembali ke bumi, bergaul dan menyapa masyarakat untuk membangun peradaban yang berakhlak mulia dengan panduan ruh dan kebenaran ilahi. Berbagai aktivitas ritual dalam agama mestinya memberikan cahaya dan energi ilahi sehingga aspek jasadi, nabati, dan hewani dalam diri manusia menyangga dan memfasilitasi perkembangan jiwa insani dan robbani.

Jika pemikiran ini diproyeksikan ke dalam pembangunan bangsa dan masyarakat, saya khawatir yang menjadi orientasi dan prioritas pembangunan kita masih terhenti pada dominasi dan orientasi jiwa hewani yang selalu mengejar kesenangan jasadi (physical pleasure). Potensi intelektualitas insani lepas dari kendali nilai-nilai robbani, lalu terjatuh melayani dorongan nafsu hewani.

Mereka yang gagal menjadikan jiwa robbani-nya sebagai pemimpin bagi kehidupannya oleh Alquran diposisikan derajatnya lebih rendah dari hewan (QS 7: 179). Tak aneh, yang muncul adalah pertengkaran berebut jabatan dan materi untuk kepuasan diri, bukan berkompetisi melayani dan berbagi kasih untuk sesama manusia.

Pusat-pusat pendidikan dan kesenian sebagai simbol dan puncak peradaban dikalahkan oleh bangunan mal pusat konsumerisme untuk memenuhi gelegak dahaga jiwa nabati dan hewani. Ini persis yang disinyalir oleh Thomas Hobbes, sesungguhnya manusia menyimpan watak homo homini lopus. Manusia adalah serigala bagi yang lain.Ketika sama-sama lapar, akan saling terkam terhadap yang lain untuk memperebutkan makanan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini