Oleh: Dr Mutohharun Jinan, Dosen Fak Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
BAGI kebanyakan orang, puasa dipahami sebagai pemenuhan kewajiban atas ketetapan Allah. Puasa hanya sebatas tidak makan, tidak minum, dan menghindari hal-hal yang membatalkannya, dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Bila itu sudah terpenuhi berarti kewajiban puasa sudah terbayar lunas. Dalam waktu bersamaan, orang yang berpuasa digembirakan oleh banyaknya imbalan pahala yang akan diperoleh. Setiap ibadah wajib yang dilakukan mendapat balasan sepuluh kali lipat dibanding pada hari biasa.
Orang yang melakukan ibadah sunah, pahalanya sama dengan ketika melakukan ibadah yang wajib. Pemahaman tersebut tampak tidak sepenuhnya salah. Memang begitulah dimensi luar ibadah puasa. Sebagaimana ibadah lain, ibadah puasa juga memuat dua lapisan, yaitu lapis eksoterik dan esoterik (dimensi lahir dan dimensi batin).
Dua lapis ibadah itu sama-sama penting dan tidak boleh ditinggalkan satu di antaranya. Keduanya harus seiring dijalankan menurut ketentuan yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Lapis lahiriah ibadah yang berupa tata cara dan waktu pelaksanaan merupakan pintu yang mengantarkan kepada pemaknaan ibadah yang jauh lebih dalam.
Dimensi esoterik atau lapis batiniah ibadah apapun jauh lebih mendalam, melampaui batas-batas formal yang bersifat lahiriah. Karena itu, kekayaan penghayatan dan pemaknaan ibadah sebanyak orang yang menjalaninya. Lebih dari satu miliar kaum muslim melaksanakan ibadah puasa, sejumlah itu pula radius penghayatan maknanya.
Kaum muslim wajib menjalankan ibadah shalat lima kali setiap hari. Kaum muslim juga diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadan setiap tahun. Semua rutinitas ibadah itu direfleksikan secara ajeg pula dalam kehidupan setiap saat, sesuai hikmah yang ada dibalik ibadah puasa.
Muara ibadah puasa adalah ketakwaan, suatu sikap moral yang menuntun pelakunya tetap dalam garis kesadaran bahwa pengawasan Allah selalu menyertai setiap langkah dan detak jantungnya. Secara batiniah puasa mengantarkan pelakunya memiliki keluhuran akhlak mulia terhadap sesama. Hal ini juga menandakan ketakwaan seseorang.
Nilai atau pesan yang akan dicapai dari pelaksanaan ibadah puasa sangat jelas dapat diketahui bila seorang berpuasa namun tidak dapat mengendalikan diri dari sifat buruk dan tercela, seperti berkata kotor dan dusta. Sebagaimana Sabda Rasulullah, "Barang siapa berpuasa tetapi tidak dapat meninggalkan perkataan kotor dan melakukan perbuatan keji, maka tidak ada kepentingan dengan meninggalkan makan dan mimun."
Hadis ini secara tersurat menyebutkan puasa harus memiliki manfaat pada perbaikan akhlak individu. Akhlak individu yang baik antara lain tercermin dari perkataan dari mulutnya hanyalah perkataan yang baik, perkataan menentramkan bagi diri dan orang lain.
Hampir setiap orang, tak memandang anak kecil atau orang dewasa, rakyat biasa atu pejabat, semua pernah berkata-kata kotor, baik niat mengumpat, mencela, menghina, mapun merendahkan orang lain. Berkata kotor juga mudah sekali ditemui dalam pergaulan sehari-hari, di lingkungan keluarga, dan di televisi.
Itu menunjukkan menghindarkan diri dari berkata kotor sejatinya tidak mudah kecuali bagi mereka yang memiliki tingkat pengendalian diri prima. Kembali pada lapis batiniah ibadah, dimensi konskuensial puasa pada lapis batiniah satu di antaranya adalah dilihat dari kemampuan diri orang yang berpuasa dalam menghayati nilai ibadah ini untuk berperilaku dan berkata-kata santun.
Berpuasa bukanlah sekadar menunggu waktu berbuka. Berpuasa menuntut untuk selalu melakukan refleksi agar kualitas akhlak individu menjadi rumah bagi pelakunya.