Oleh: Dr Mutohharun Jinan, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
LEMBAGA-lembaga pengelola zakat berkesimpulan, pada 2014 lalu kesadaran umat untuk berzakat masih tergolong rendah, kendati perolehan dana zakat, infak, dan sedekah mengalami peningkatan dibanding tahun‑tahun sebelumnya. Sebut saja laporan Baznas, dari potensi zakat kaum muslim Rp 217 triliun per tahun, baru terealisir Rp 3,4 triliun.
Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya jumlah kaum muslim membayar zakat. Antara lain, faktor kesadaran keagamaan seperti belum tahu keuntungan membayar zakat dan kerugian bila meninggalkannya. Faktor lainnya, mungkin soal rendahnya trust terhadap manajemen pengelolaan zakat.
Yang paling dikhawatirkan adalah apabila ternyata faktor keberagamaan simbolik turut berpengaruh dalam rendahnya kesadaran berzakat. Sebab kita merasakan aktualisasi kehidupan keberagamaan yang menonjol sekarang tampak cenderung memberi jubah yang mahal terhadap kesalehan ekspresif yang nyaris kehilangan komitmen keberpihakannya terhadap masalah kemiskinan dan kesengsaraan.
Sangat ironis memang, jika kesadaran agama tidak mampu menembus pada kesadaran untuk melakukan konsolidasi humanis. Agama seharusnya menjaga fungsi bagaimana memelihara spirit kemanusiaan yang menyatukan, sehingga solidaritas menjadi esensi paling pokok kehidupan sosial akan tetap terpelihara.
Zakat bagi kaum muslim (yang mampu) adalah kewajiban yang harus ditunaikan sebagai satu bentuk aktualisasi semangat pemerataan kapital. Di akhir Ramadan sebelum shalat Idul Fitri diwajibkan membayar zakat fitrah atau zakat nafs bagi setiap orang muslim, baik anak kecil maupun orang dewasa, baik laki‑laki maupun perempuan.
Sedang zakat mâl (harta), yaitu bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang‑orang tertentu setelah memenuhi. Selain sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, zakat berfungsi ganda.
Bagi muzakki (orang yang berkewajiban zakat) dapat mensucikan jiwa dari sifat kikir dan mensucikan harta, karena pada setiap harta yang dikaruniakan Allah ada hak fakir miskin. Zakat juga menarik rasa simpati dan cinta pada sesama.
Sedangkan dampak bagi si penerima zakat dapat membantu memenuhi kebutuhannya, menghilangkan sifat dengki dan benci kepada pemilik harta. Mengikis sifat‑sifat ini sangat penting untuk mengurangi "bara dalam sekam" kelas miskin terhadap kelompok padat modal, yang sewaktu‑waktu bisa meledak.
Secara sosial‑ekonomi, zakat merupakan bagian dari bentuk distribusi kekayaan sehingga dapat mencegah proses kesenjangan sosial. Mudah diduga, jika tidak ada distribusi kekayaan secara proporsional (ingkar zakat) di masyarakat yang akan terjadi adalah kecemburuan, fitnah, ketidakpercayaan, kakacauan, dan peningkatan kriminalitas.
Distribusi kekayaan ini penting sebagai rangkaian keseimbangan hidup di masyarakat. Dengan memberikan zakat, infaq, sedekah, akan memunculkan sikap‑sikap positif dalam pergaulan yaitu empati, kasih sayang, tolong menolong, dan respek terhadap orang lain.
Menarik untuk diperhatikan, dalam Alquran dan Hadis tidak satupun perintah agar kaum muslim menjadi mustahik (penerima zakat). Yang ada adalah perintah membayar zakat atau perintah menjadi muzakki. Ini artinya kaum muslim dituntut menumbuhkan etos kerja yang tinggi agar memiliki kemampuan finansial untuk membayar zakat.
Menilik semakin tingginya angka kelas menengah muslim di Indonesia sangat diharapkan berkorelasi dengan semakin tinggi pula kesadaran berzakat. Dengan begitu realisasi zakat, sebagai bentuk kesadaran humanis, akan semakin memperkokoh keberagamaan otentik serta menggusur keberagamaan simbolik ke tepian wacana dan kesadaran publik.
Sebaliknya, Rasulullah SAW mengingatkan, "Bila mereka tidak mengeluarkan zakat, berarti mereka menghambat hujan turun. Seandainya binatang tidak ada, pastilah mereka tidak akan diberi hujan." (HR. Ibnu Majah, Bazzar, dan Baihaqi). Hujan dalam Hadis ini sebagai simbol dari kesejahteraan, bila tidak ada hujan kesulitan akan mendera hidup manusia.