Oleh: Dr Mutohharun Jinan, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
MENJELANG hari raya Idul Fitri, ruang batin kaum muslim dipenuhi gairah mudik, yaitu tradisi bersilaturahim, bertemu sanak saudara, kembali ke kampung halamannya. Bagi sebagian besar pelakunya, rutinitas ini dijalani secara tidak mudah, penuh perjuangan, melelahkan tetapi juga diliputi perasaan gembira dan penuh harapan.
Begitu juga pemudik yang berkendara pribadi, sering kali harus bersabar dalam antrean panjang, jalan macet, dan tantangan lainnya. Bagi pemudik, segenap derita perjalanan, panas, macet, berdesakan, antre berjam‑jam membeli tiket, menjadi untaian kisah yang semakin menarik untuk dituturkan.
Di era teknologi komunikasi yang begitu canggih dalam menyambung kembali hubungan antarmanusia melalui media sosial, tradisi mudik tetap saja berlangsung dengan segenap hiruk‑pikuknya. Tidak sederhana menjelaskan rutiitas tahunan mudik di Indonesia.
Mudik melibatkan jutaan orang, bermigrasi dari kota ke desa, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pulau ke pulau lain. Mudik juga memperlihatkan fenomena multiaspek.
Karena itu, menjelaskannya juga bisa dari berbagai sudat pandang, ekonomi, budaya, wisata, dan tentu saja spiritual. Secara spiritual manusia dilengkapi kodrat selalu ingin kembali ke asal fitrahnya, asal penciptaannya.
Sebagai seorang muslim saya memaknai fitrah dasar manusia adalah makhluk yang suci. Kesuciannya ditandai dengan kecenderungan menapaki kehidupan ini di atas landasan nilai‑nilai moral individual, seperti sabar, jujur, ikhlas, dan disiplin.
Begitu juga, kesucian manusia dapat dilihat dari nilai moral kolektif yang ditampilkan dalam kehidupan sehari‑hari. Moralitas kolektif itu seperti suka menolong, berbagi, toleran, pemaaf, santun terhadap orang lain, dan memuliakan orang tua.
Nlai‑nilai tersebut menjadi bagian penting dari spirit mudik. Setelah sekian lama berjuang hidup beradu nasib dalam arus urbanisasi yang keras, mudik merupakan aktualisasi sangat penting. Mudik secara kultural kembali ke kampung asal, tempat orang tua dan sanak saudara, kolega, serta teman bermain sewaktu kecil.
Kepada mereka semua saling memberi maaf, saling menyampaikan doa untuk kesejahteraan baik bagi yang di rumah maupun yang merantau. Mudik jika direnungkan secara lebih mendalam pada dasarnya suatu aktvitas alamiah manusia.
Secara natural manusia merindukan untuk bersama dengan orang‑orang dekat, ingin berbagi kepada orang‑orang yang pernah berjasa dalam hidupnya, baik itu orang tua, guru, kiai, kerabat, mapun teman sepermainan.
Dari sini dapat dipahami, keinginan pemudik untuk mengenang masa lalu barang sejenak selalu dilakukan beriringan dengan perayaan Idul Fitri. Mobilitas mudik merefleksikan suatu kesadaran atas prestasi kerja, nilai penghormatan, dan hubungan sosial.
Melalui prosesi itu manusia digugah dan diingatkan kembali kepada tatanan sosial yang guyup, santun, dan bersahaja. Sayangnya, melihat realitas di masyarakat, tidak banyak pemudik yang sadar terhadap nilai‑nilai sosial budaya seperti itu.
Sebagian besar menjalani mudik sebagai rutinitas tahunan saja dengan sedikit polesan tindakan religius. Tidak sedikit pula yang terperangkap dalam tampilan lahiriah dan kebendaan sebagai barometer raihan kesuksesan hidup di tempat jauh.
Sikap yang terakhir ini sering kali memicu keangkuahn sosial yang dapat membuka peluang baru bagi ketidakseimbangan hidup di masyarakat. Karena itu Nabi Muhammad SAW mengingatkan agar Lebaran atau capaian kesuksesan puasa itu tidak ditandai dengan meningkatnya hal‑hal fisikal seperti pakaian baru dan kendaraan baru.
Tetapi capaian yang sebenarnya diharapkan dari ibadah puasa (Lebaran yang sebenarnya) adalah adanya peningkatan ketakwaan, termanifestasi dalam kesediaan berbagi, ahli silaturhami, pemaaf, introspeksi, dan tetap rendah hati sebagaimana terkandung dalam spirit mudik.