TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG- Sebagaimana biasa rutin tiap Ramadan, ribuan jemaah mengikuti Semaan Alquran di Masjid Agung Kauman Semarang.
Semaan itu dipimpin oleh KH Ahmad Nakib Alhafiz, Selasa 7 Juni 2016.
Semaan dan pengajian ini rutin dilakukan selama Ramadan dan diikuti oleh ribuan jemaah yang berasal dari Semarang, Kendal bahkan hingga Yogyakarta.
Dalam wikipedia disebutkan, Masjid Besar Kauman Semarang adalah sebuah masjid yang berada di Semarang, dibangun tahun 1749 Masehi atau 1170 Hijriah, sebagaiman tertulis pada batu marmer tembok bagian dalam gerbang masuk masjid tersebut.
Dulu masjid ini bernama Masjid Agung Semarang sebagaimana tertulis menggunakan aksara arab cukup besar, namun masyarakat lebih mengenal masjid ini dengan sebutan Masjid Besar Kauman Semarang.
Letak Masjid Besar Kauman Semarang tadinya berdiri megah di depan alun alun kota Semarang.
Namun kemudian sejak tahun 1938 alun alun tersebut beralih fungsi menjadi kawasan komersil yaitu dengan adanya Pasar Johar , Pasar Yaik, gedung BPD dan Hotel Metro yang kemudian menjadi area Kawasan Perdagangan Johar.
Masjid Besar Kauman Semarang kini terjepit di antara bangunan bangunan tinggi yang mengepungnya.
Masjid Kauman ini beralamat di Jl. Alun-alun Barat Nomor 71 Semarang. Sekarang Masjid Kauman atau Masjid Besar Semarang letaknya tidak lagi berada dalam wilayah Kampung (Kelurahan) Kauman, tetapi masuk dalam wilayah Kelurahan Bangunharjo Semarang Tengah.
Menurut inskripsi berbahasa dan berhuruf jawa yang terpatri di batu marmer tembok bagian dalam gerbang masuk ke Masjid Besar Kauman Semarang, masjid ini dibangun pada tahun 1170 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1749M. lengkapnya inskripsi tersebut berbunyi seperti berikut :
“Pemut kala penjenengane Kanjeng Tuwan Nikolas Harting hedelir gopennar serta sarta Direktur hing tanah Jawi gennipun kangjeng Kyahi Dipati Suradimanggala hayasa sahega dadosse masjid puniki kala Hijrat 1170”
Dalam bahasa Indonesia nya :
“Tanda peringatan ketika kanjeng Tuan Nicoolass Hartingh, Gubernur serta Direktur tanah Jawa pada saat Kanjeng Kyai Adipati Suramanggala membangun hingga jadinya masjid ini pada tahun 1170 Hijrah”
Tuan Nicoolass Hartingh sendiri seperti yang disebutkan dalam inskripsi tersebut adalah tokoh utama penggerak lahirnya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang memecah wilayah Kesultanan Mataram atau dikenal dengan Palihan Nagari menjadi wilayah kesultanan Ngayokyakarta Hadiningrat berpusat di Yokyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Atas upayanya Nicoolas Hartingh kemudian dihadiahi rumah dinas oleh pemerintah penjajahan Belanda (VOC) di daerah tugu muda dengan nama De Vredestein atau Wisma Perdamaian.
Masjid Besar Kauman Semarang ini yang kini masih berdiri kokoh adalah bangunan yang didirkan oleh Adipati Suradimanggala (Kiai Terboyo) menggantikan masjid lama yang rusak parah akibat kebakaran selama geger pecinan di Semarang tahun 1741.
Lokasi masjid lama ini berada di sebelah timur alun alun diseberang barat kali Semarang.
Masjid tua ini pernah dipugar pada masa penjajahan, pada tahun 1889 sampai 1904 dikarenakan pernah terjadi kebakaran pada masjid tersebut.
Pada waktu pemugaran Masjid Kauman ditangani seorang arsitek Belanda bernama Gakampiyan.
Bangunan Masjid Besar Semarang yang ada sekarang adalah bangunan yang keempat, yang merupakan lanjutan dari masjid keadipatian sebelumnya Pertama kali masjid dibangun di kawasan Mugas (Mugasari), tetapi karena penduduknya tidak berkembang masjid dipindahkan ke Bubakan yang penduduknya lebih ramai sehubungan kawasan ini telah berkembang menjadi kota pelabuhan.
Bersamaan timbulnya pemberontakan orang-orang Cina terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda, terjadi kebakaran yang menimpa perumahan termasuk bangunan masjid.
Atas pertimbangan lokasi masjid yang terlalu dekat dengan perkampungan Cina, maka oleh Bupati Semarang Suro Hadimenggolo II (1713 - 1751) pembangunannya kembali dipindahkan ke kawasan Kanjengan,.
Pembangunan masjid selesai tahun 1760, pada masa pemerintahan Bupati Suro Hadimenggolo III (1751-1773).
Namun bangunan masjid baru ini pada tahun 1885 kembali mendapat musibah, terbakar karena disambar petir.
Pembangunan kembali masjid di lokasi yang sama baru dimulai pada tahun 1889 atas bantuan Bupati Raden Tumenggung Tjokrodipuro, dan selesai pada tahun 1890. (*)