KH. Cholil Nafis, Ph.D, Ketua Komisi Dakwah Dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
TRIBUNNEWS.COM - Pensyariatan puasa tidak hanya mengandung makna perintah dalam konteks ibadah, tetapi juga memiliki makna agar seorang muslim dapat menggunakan rasionya dalam merespon realitas kehidupan.
Kehidupan modern menyuguhkan berbagai kemewahan dunia membuat banyak orang tidak memiliki pikiran panjang. Manusia cenderung mempeturutkan keinginan untuk meraih kepuasan saat ini dan mengabaikan persiapan masa depannya.
Inilah era konsumerisme di mana manusia dihadapkan pada pernak-pernik kehidupan yang mendorong untuk terus berbelanja guna memenuhi nafsunya yang tak pernah berujung.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18).
Ayat di atas mengisyaratkan agar orang-orang yang bertakwa memperhatikan masa depannya. Baik atau buruknya masa depan akan bergantung perilaku seseorang.
Jika seseorang memperturutkan hawa nafsu dengan menghabiskan pendapatan rutinnya hanya untuk kepuasaan sesaat maka masa depannya akan suram. Karena sudah tidak ada lagi uang yang dicadangkan untuk masa depannya. Padahal berbagai resiko kehidupan mengadang, seperti kecelakaan, sakit, kematian mendadak, kebangkrutan dan lain-lain.
Puasa yang didefiniskan ulama dengan “menahan dari makan, minum, hubungan seksual” dapat diambil hikmahnya agar kita tidak konsumtif. Perintah tidak makan dan tidak minum sebenarnya mengandung ide moral agar manusia dapat mengendalikan diri terhadap keinginan.
Dalam kehidupan saat ini yang sangat mendorong manusia berprilaku konsumeristik, maka penerapan nilai-nilai puasa sangat tepat. Karena manusia harus menahan hawa nafsunya untuk terus ingin berbelanja dan menghabiskan uangnya untuk kepentingan sesaat.
Saat ini, berbagai perusahaan yang memproduksi alat pemuas kebutuhan manusia terus bersaing mempromosikan produk-produknya. Bahkan banyak di antaranya mempermudah konsumen dalam mendapatkannya melalui fasitilas kredit. Apalagi juga didukung oleh perbankan yang mengeluarkan kartu kredit. Sehingga masyarakat akan mudah sekali berbelanja bahkan saat-saat uang tunai sudah tipis sekalipun.
Bagi orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukupi barangkali gaya hidup seperti ini tidak membawa madharat yang berarti, namun bagi orang-orang yang kemampuan ekonominya terbatas akan berdampak negatif bahkan dapat membahayakan masa depan anak keturunannya.
Rasulullah saw. telah mengingatkan kita dalam sabdanya, “Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia." (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Agar manusia dapat menyelamatkan masa depanya dan anak keturunannya, maka ia harus mampu mengendalikan diri dalam menggunakan finansialnya. Semangat pengendalian diri di sini dapat diartikan dengan berpuasa. Artinya dalam kehidupan konsumeristik saat ini manusia harus banyak berpuasa terhadap keinginan-keinginannya terhadap barang-barang kebutuhan sekunder maupun luxurynya.
Semangat puasa harus diterapkan karena seringkali keinginan berbelanja itu dipengaruhi faktor eksternal. Maka kita harus dapat mengatakan “saya sedang berpuasa” saat orang-orang di sekitar kita membeli barang-barang luxurinya.
Persaingan antartetangga dan teman sudah menjadi hal biasa, sehingga kalau kita tidak menerapkan nilai-nilai puasa kita akan terjebak pada persaingan duniawi yang membahayakan dirinya secara finansial. Banyak orang terjebak utang di bank yang tidak dapat dibayar akibat persaingan seperti ini.
Karena itu, melalui puasa, kita dapat mengendalikan nasfu dari prilaku konsumtif yang dapat membahayakan diri dan anak keturunan. Karena pada hakikatnya puasa itu sendiri perintah Allah SWT agar kita mengendalikan tingkat konsumsi.