Laporan Wartawan TribunnewsBogor.com, Yudhi Maulana
TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Puasa ternyata tak menghalangi kemesraan suami dengan istri.
Selama bulan Ramadhan ada batasan-batasan kemesraan pasangan suami istri yang diperbolehkan dan tidak.
Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Raya Bogor, Ahmad Fathoni mengatakan, ada rambu-rambu yang membatasi kemesraan pasangan suami istri dalam hal yang wajar.
"Kemesraan suami istri dalam selama masih wajar masih diperbolehkan, yang paling penting adalah tidak menimbulkan syahwat," katanya kepada TribunnewsBogor.com (Tribunnews.com Network)
Ahmad mencontohkan, istri mencium tangan suami atau suami kecup kening istri untuk menunjukkan kasih sayang tanpa berlebihan itu diperbolehkan.
Namun, bila dilakukan dengan sudah melewati jalurnya syahwat, itu yang bisa membatalkan puasa.
Selain perbuatan, yang harus diperhatikan lagi adalah kata-kata mesra.
Misal, saat suami sedang kerja kemudian istri menelepon atau mengirim pesan yang bisa memancing syahwat suaminya, makan itu juga tak diperbolehkan.
"Bila tak bisa menahan syahwatnya itu, dikhawatirkan si suami bisa mengeluarkan air mani yang dapat membatalkan puasa," ujarnya.
Beda halnya ketika seorang suami mengalami mimpi basah saat berpuasa, itu tidak membatalkan puasa karena tidak dilakukan secara sengaja.
Ia mengisahkan, ada seorang khilafah di zaman Abbasiyah yang mengundang para tokoh ulama, salah satunya yakni Imam Abu Hanifah.
Khilafah tersebut bertanya kepada Imam Abu Hanifah, bolehkah dirinya berhubungan intim dengan istrinya saat berpuasa.
Kemudian dijelaskan Imam Abu Hanifah bila melakukan hal itu, harus diganti dengan sesuatu yang berat.
"Imam Abu Hanifah mengatakan kepada khilafah itu kalau ia harus mengganti sesuatu yang berat, yakni berpuasa selama dua bulan berturut-turut," ungkapnya.
"Padahal ada dua hal lagi yang harus dilakukan oleh khilafah untuk menggantinya, yakni memberi makan 70 fakir dan miskin serta membebaskan hamba sahaya. Tapi itu tidak dikatakan oleh Imam Abu Hanifah," sambung Ahmad.
Alasan tidak dikatakannya dua hal itu, karena Imam Abu Hanifah mengira kalau khilafah itu pasti akan mudah melakukan dua hal terakhir.
Dan itu dikhawatirkan khilafah itu akan menyepelekan puasa.
Sementara, untuk syarat dua bulan puasa berturut-turut pasti akan berat dilakukan oleh khilafah itu.
"Imam Abu Hanifah mengatakan 'kalau aku menyebutkan yang dua itu (memberi makan 70 fakir dan miskin serta membebaskan hamba sahaya), maka ia akan menganggap ringan terhadap puasa,'" ujarnya.
Untuk itu, katanya, hikmah yang diambil dari kisah tersebut adalah bahwa puasa merupakan ibadah yang berhubungan langsung antara manusia dengan Allah SWT.
Sehingga, ibadah puasa ini tak boleh dianggap remeh.(*)