News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2016

Musibah Banjir

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Banjir bandang dan longsor menerpa Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Selasa (21/6/2016). Empat orang diduga masih tertimbu dan sedikitnya 40 rumah rusak akibat banjir dan tanah longsor di Sangihe. TRIBUNNEWS/BPBD Sulut

Dr Mutohharun Jinan, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta

TRIBUNNEWS.COM - Bersamaan dengan kaum muslim menjalankan ibadah puasa Ramadan, berita banjir dan tanah longsor menyentak kesadaran kemanusiaan. Belasan korban nyawa dan ribuan orang mengungsi. Bencana banjir menggugah kesadaran untuk peduli sesama seiring dengan pesan ibadah puasa.

Pesan utama ibadah puasa adalah pengendalian diri atas nafsu keserakahan. Di balik pengendalian disusul perintah agar orang berpuasa juga meningkatkan kesadaran dan kepedulian. Terlebih kepedulian terhadap orang yang sedang dalam kesulitan atau tertimpa musibah banjir serta longsor.

Bagi orang yang memahami ilmu lingkungan (ekologi) akan mengatakan banjir adalah peristiwa alamiah semata. Bagi orang yang mempercayai mitos, banjir merupakan kemarahan roh leluhur karena kita tidak lagi melakukan ruwatan dan mempersembahkan sesaji untuk mereka.

Sedangkan kelompok penganut agama akan mengatakan banjir merupakan bentuk kemurkaan dan kutukan Tuhan yang ditimpakan kepada manusia. Terjadinya banjir merupakan kehendak Tuhan. Ini pandangan teologis yang paling populer di kalangan umat beragama.

Munculnya pandangan teologis bahwa banjir merupakan bentuk kutukan Tuhan memang bukan tanpa alasan. Banyak kisah dalam Alquran yang menyiratkan hal itu, di antaranya banjir pada zaman Nabi Nuh as (QS Hud/11: 32-37), banjir pada zaman Nabi Hud as (QS. Hud/11: 50-58), dan banjir di negeri Saba' (QS. Saba'/34: 15-16).

Sebagian besar tafsir atas ayat-ayat tersebut menyatakan terjadinya banjir merupakan kehendak Tuhan yang sedang murka, lantaran umat manusia tidak mau mengikuti ajaran para nabi, tetapi malah mencemooh dan menentangnya. Begitulah kesimpulan para ulama yang tidak menyertakan pendekatan ekologis dalam menafsirkan teks.

Penafsiran secara tekstual semata tanpa disertai dengan pengetahuan masalah ekologi yang memadai dapat memunculkan pemahaman yang merugikan. Dalam ayat Alquran (QS. al-A'raaf/7: 64) misalnya disebutkan banjir yang menenggelamkan manusia terjadi karena manusia mengingkari ayat-ayat Tuhan.

Pendekatan Ekologis

Kata ayat sering kali hanya dipahami firman Tuhan berupa kitab suci. Padahal sebenarnya kata ayat juga berarti `tanda-tanda' (ciptaan Tuhan) berupa alam semesta seperti manusia, hewan, matahari, bulan, air, gunung, angin, tanah datar dan tinggi, pepohonan dan seterusnya, yang masing-masing memiliki hukum-hukum keseimbangan.

Tatkala hukum-hukum itu dilanggar, terjadilah ketidakseimbangan dan bencana. Banyak prilaku manusia yang termasuk dalam kategori mengingkari ayat-ayat Tuhan. Misalnya mengeksploitasi alam secara berlebihan sampai tidak memperhatikan keseimbangannya.

Membuang sampah yang tidak pada tempatnya sehingga menyumbat laju air yang memiliki sifat mengalir menuju ke tempat lebih rendah, menebang hutan lindung secara liar sehingga menyebabkan erosi atau tanah longsor.

Banjir merupakan fenomena ekologis yang diakibatkan prilaku manusia yang menentang hukum lingkungan. Hal ini didasarkan pada fakta empiris banjir di masa kini lebih dominan diakibatkan kesalahan dan kerakusan manusia dalam mengeksploitasi lingkungan. Setidaknya itulah yang dapat kita tangkap dari isyarat Tuhan (QS. Ar-Rum/30: 41).

Oleh karena itu, kita perlu menafsir ulang firman Tuhan tentang banjir dan bencana alam lainnya menggunakan pendekatan ekologis. Tafsir berwawasan lingkungan semakin terasa mendesak dibutuhkan mengingat hampir setiap hari kita menyaksikan berita duka akibat bencana alam.

Untuk menumbuhkan kesadaran tersebut di masyarakat dapat dilakukan mulai dari cara sederhana sampai pada perubahan paradigma teologis. Cara yang sederhana, misalnya para pemuka agama, juru dakwah, khatib memperbanyak tema-tema dakwah yang berkaitan langsung dengan kebersihan dan kenyamanan lingkungan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini