Dr Mutohharun Jinan MAg, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Hari-hari menjelang Idul Fitri perlu kiranya kaum muslim kembali merenungkan sikap-sikap dan perilaku yang berlebihan, khususnya dalam membelanjakan harta. Hal ini penting supaya jangan sampai perilaku atau sikap-sikap pada saat merayakan Idul Fitri justru tanpa disadari telah menyalahi dan menyimpang dari makna dan pesan Idul Fitri itu sendiri.
Alquran mengakui hak-hak kepemilikan harta pada diri seseorang kendati hakikat sesungguhnya adalah milik Allah. Alquran juga memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang yang memperoleh harta secara benar, sesuai prinsip-prinsip yang digariskan, dan hasil dari kerja keras.
Kaum beriman bahkan didorong mencari harta atau rizki dengan bertebaran jauh di muka bumi. Alquran menamai pencarian harta dengan sebutan sangat indah, "Carilah karunia Allah." (wabtaghu min fadhlillah) (QS. Al-Jumuah/62: 10).
Rasulullah Muhammad saw. juga menegaskan tentang pentingnya harta duniawi, sehingga beliau menganjurkan supaya berusaha mendapatkannya dengan semangat. "Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya."
Harta yang diperoleh belum tentu menjamin kita selamat atau memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. Alquran selanjutnya memberikan tuntunan dalam membelanjakan harta yang menguntungkan.
Yang diwajibkan dalam pembelanjaan harta adalah menzakati menurut kadar yang telah ditentukan (QS. Al-Baqarah/2: 267). Menginfaqkan dan menyedakahkan sebagian harta kepada orang yang membutuhkan akan turut mempercepat capaian derajat kebahagiaan kita.
Zakat, infaq dan sedekah pada dasarnya akan kembali kepada kita sendiri, demikian tersurat dalam firman-Nya, "dan apabila harta yang baik yang kamu sedekahkan maka pahalanya untuk kamu sendiri." (QS. Al-Baqarah/2: 272).
Tetapi kaum beriman juga dilarang kikir, sebagaimana firmaa Allah, "Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu." (QS. Al-Isra/17: 29). Tangan yang membelenggu leher merupakan metafora sikap kikir.
Kaum muslim sangat dilarang menghambur-hamburkan harta atau menggunakannya untuk berfoya-foya. Terlebih menggunakan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat apalagi mengandung kemaksiatan. Disebutkan dalam Alquran perlunya pengendalian pembelanjaan harta dan tidak boros menggunaknnya. "... dan janganlah kamu memboroskan harta. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu temannya setan. Dan setan itu ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra/17: 26).
Idul Fitri sejatinya perayaan kemenangan yang bersifat ruhaniah. Sikap batin yang bergembira setelah berhasil mengendalikan nafsu dan menghindari dari hal-hal yang dapat merusak ruhaninya.
Hanya memang artikulasi kebahagiaan batin diungkapkan dalam bentuk lahiriyah. Dalam bentuk busana baru, makanan, minuman, peralatan rumah tangga dan lain-lain, misalnya.
Tentu perayaan seperti itu bisa dimengerti dan manusiawi. Namun sebagai kaum beriman harus tetap mengendalikan agar pembelanjaan harta tetap dalam batas-batas yang diizinkan.
Pembelanjaan harta harus memperhatikan kepantasan, tidak mengumbar kemewahan, dan menjauhi konsumtivisme. Panggung kehidupan kita saat ini tidak pernah sepi dari tayangan dan perbincangan tentang perilaku pemborosan dan bermegah-megahan dalam hal harta duniawi.
Sebagian di antaranya tampak dari mereka yang terjerat kasus korupsi, setelah ditangkap dan dilacak harta kekayaannya ternyata berlipat-lipat, deposito miliaran rupiah di bank, dan puluhan rumah di berbagai kota.
Kita berharap para pemimpin dan publik figur memberi teladan yang baik dalam membelanjakan harta sehingga masyarakat dapat mengikuti dan merayakan Idul Fitri sesuai pesan dan makna sesungguhnya.