KH. Cholil Nafis, Ph.D., Ketua Komisi Dakwah Dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
TRIBUNNEWS.COM - Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin hidup sendiri. Ia pasti membutuhkan orang lain dengan saling bekerja sama, saling tolong menolong, dan berhubungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Islam telah mengajarkan bagaimana membangun sinergi antar sesama. Setiap muslim diharapkan dapat memberikan kontribusi hidupnya untuk orang lain dengan menyuplai kemanfaatan sebanyak-banyaknya.
Rasulullah bersabda, bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain (HR. Thabrani).
Owner Microsoft asal Amerika, Bill Gates, pernah berkata bahwa merupakan kerugian besar saat seseorang dilahirkan dalam keadaaan bodoh dan miskin lalu meninggal dunia dalam keadaan yang sama.
Nilai moral pesan Bill Gates kurang lebih sama dengan apa yang dimaksud Rasulullah, bahwa kemanfaatan hidup bagi sesama atau lingkungan menjadi kunci pokok dalam kehidupan.
Jika seseorang yang hidup di dunia sekitar 80 tahun namun keberadaannya tidak memberi kontribusi yang berarti bagi sesama merupakan kerugian yang sangat nyata.
Tidakkah manusia diberikan karunia dengan kelebihan akal dan hatinya untuk berkreasi dan berempati kepada orang lain?
Bukankah selama hidup di dunia banyak sekali kesempatan untuk berbagi kebahagiaan dengan sesama? Berbagi rejeki kepada mereka yang kekurangan (fakir dan miskin).
Dalam Islam, sikap memiliki rasa kebaikan untuk orang lain melebihi diri sendiri disebut “itsar”. Sementara dalam tinjauan psikologi dinamakan “altruisme”, yaitu sikap dan perilaku peduli kepada orang lain melebihi dirinya sendiri.
Konsekuensi logisnya, seorang muslim ideal adalah saat dia mampu meletakkan semangat pengabdian kepada Allah di atas pemenuhan kebutuhan dan kepentingan pribadinya.
Saat Allah menyerukan amal sosial atau berbuat baik kepada orang lain, maka spirit itu akan mengalahkan seluruh tarikan egonya.
Nilai altruisme sesungguhnya telah diajarkan oleh para pendahlu Islam, khususnya kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin. Betapa kaum Anshar memiliki sikap hidup rela bekorban dalam bentuk mementingkan kaum Muhajirin dengan mengalahkan kebutuhan mereka sendiri semata-mata karena ingin memberikan kemanfaatan atas dasar nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Kehidupan para sahabat generasi awal Islam oleh Alquran digambarkan sebagai komunitas yang mampu mengalahkan kepentingan pribadi demi orang lain, meskipun mereka sendiri dalam keadaan bersusah payah (yu’tsirun ‘ala anfusihim walau kana bihim khashashah).
Sikap demikian (itsar ‘ala al-nafs) inilah sikap altruisme yang mengabaikan kepentingan pribadi, berkebalikan dari sikap egoisme yang mementingkan kepentingan diri sendiri.
Nilai-nilai altruisme tersebut sesungguhnya dapat diasah melalui spirit Ramadan. Sebagai bulan suci yang penuh rahmah dengan segala fasilitas pahala kualitas jumbo, Ramadan dapat dijadikan momentum untuk mendidik batin secara paripurna agar jiwa kita memiliki nilai altruisme.
Haus dan lapar serta menahan hal-hal yang membatalkan puasa secar efektif dapat membakar jiwa-jiwa kebinatangan, lalu mewujud dalam sikap-sikap egaliter, empati, dan kasih sayang kepada sesama.
Zakat, infaq, sedekah, dan seluruh amal saleh untuk kebahagiaan orang lain dengan sendirinya akan muncul saat kita mampu menggodok seluruh ego demi kepentingan orang lain.
Seorang yang hanya terpaku pada egonya (ego centric) berarti belum atau bahkan tidak memiliki sikap altruisme, dan bisa diasah dengan menjalani amaliah Ramadan.
Akankah kita telah memiliki sikap alruisme selama ini? Jika belum, maka Ramadan kali ini menjadi momentum yang tepat untuk mengasah jiwa peduli kepada sesama. Wallahu a’lam