TRIBUNNEWS.COM -- Kakek penjual abu gosok di bilangan Jakarta ini mengaku tak pernah makan saat sahur dan berbuka puasa.
Dia berkisah pada seorang mahasiswi yang hendak membeli dagangannya.
Diceritakan akun Fauziah Ulfa, pendengaran kakek itu terganggu.
Sehingga saat dirinya bertanya perlu menggunakan yang lantang.
Sebenarnya Ulfa bukan kali pertama melihat kakek tersebut.
Beberapa kali ia berjumpa, hanya baru ini dirinya berkesempatan untuk mendengar kisah hidup yang diceritakan kakek ini.
Ulfa merasa haru ketika mendengar alasan sang kakek yang tetap berpuasa meski tak makan saat sahur dan berbuka.
Bahkan, kakek penjual abu gosok itu tak mampu berbicara banyak karena perutnya yang sakit.
Teruntuk Mahasiswa/i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beberapa kali saya temui kakek ini, bahkan beberapa kali pula saya mencari keberadaan beliau.
Beliau kakek tua yang giat mengais rezeki, tak peduli tubuh renta, tak peduli sengatan matahari.
Berjalan pagi dari rumah membawa gerobak kecil miliknya yang berisi "bola kecil dan abu gosok".
Fikirnya saya saat tahu pertama kali apa yang beliau jual "jaman sudah se-modern ini sudah jarang sekali yg menggunakan abu gosok".
Namun, beliau tidak menyerah. Tidak menjadikan ke-rentaannya utk meminta belas kasih seseorang.
Itu yang saya patut acungi jempol.
Pagi ini, ketika ingin berangkat ke kampus.
Saya bertemu kakek ini sedang duduk di pinggir jalan dengan lemahnya.
Sontak saya berhenti, berniat membeli se-plastik abu gosok utk membantunya. Sebab jika saya hanya memberinya uang, sy takut beliau tersinggung.
"Pak, beli abu gosoknya ya" berkali2 saya berkata, beliau hanya terdiam. Ternyata, pendengaran beliau terganggu. Saya mengencangkan suara dan beliau akhirnya mendengar.
Dengan tergopoh2 utk berdiri beliau menyiapkan abu gosok pesanan saya.
"Tidak usah banyak2 pak, berapa harganya?"
"3000 ribu neng"
Saya terdiam, untuk seplastik abu gosok beliau hanya menjual 3000 rupiah. Benar2 nominal yg tdk ada apa2nya utk jaman skrg.
Saya pun bayar, memberi dengan lebih berniat bukan untuk menganggapnya peminta2 tapi karna simpati saya sebagai manusia (bukan utk riya hanya berbagi kisah).
Setelah saya bayar, begitu banyak doa yg beliau layangkan utk saya sambil mencoba duduk kembali.
Karena memang sudah lama sekali sy mencari kakek ini, moment ini pun saya gunakan utk sedikit bertanya ttg kehidupannya.
"Bapak tinggal dimana?"
"Deket, di deket bengkel las daerah pisangan"
(Saya menyimak)
"Saya tinggal numpang sama orang, anak saya tinggal di cikarang. Perut saya sakit neng, selama puasa gak pernah makan karena gak ada apa2 dirumah. Saur sm buka cuma pake air putih aja"
Suaranya terdengar parau menahan tangis.
"Bapak kenapa gak istirahat aja? Gak usah puasa aja pak"
Beliau hanya tersenyum. Dan berkata "maaf ya neng, saya gak bisa ngobrol banyak. Perut saya sakit kalo banyak ngobrol"
"Ohiyaa pak, saya pamit ya pak"
Tangis saya tertahan, saya merasa tertampar pagi ini.
Beliau sudah se-tua itu, masih sanggup berpuasa. Masih sanggup bekerja.
Saya yang se-muda ini, masih sering mengeluh, masih sering menyepelekan makanan sdgkan kakek tersebut, untuk makan pun susah.
Dari tulisan ini,
Saya bermaksud mengajak teman2 semua utk membantu beliau terkhusus mahasiswa/i UIN Jakarta karena posisi beliau yg dekat dgn kampus dan seluruh warga tangerang selatan.
Jika kalian temui kakek ini, berhentilah sejenak.
Belilah abu gosoknya yg seharga 3000 rupiah atau bola kecil yg seharga 5000 rupiah.
Pak, semoga hari ini Allah memberimu rezeki yg berlimpah dan semoga ibadah puasamu beberapa hari ini di terima oleh Allah.
Ciputat, 31 Mei 2017
#mariberbagidibulanberkah
#berbagiterhadapsesama
#ramadhanberkah