KH. Cholil Nafis, Ph.D., Ketua Komisi Dakwah Dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
TRIBUNJATENG.COM - Dalam budaya nusantara, momen berbuka puasa bersama (ifthar jamai) merupakan tradisi yang sudah berjalan sejak lama. Setiap Ramadan datang, umat Islam menjadikan kegiatan itu sebagai agenda rutin yang dikemas dalam berbagai kepentingan.
Ada yang untuk keperluan keluarga, seperti arisan atau sekedar gathering, pertemuan para karyawan, reuni para alumni perkumpulan atau lembaga pendidikan, hingga komunitas keagamaan yang dikemas dengan berbagai aktifitas kajian keislaman maupun ritual ibadah.
Pertanyaan lalu muncul, adakah gerangan makna di balik kebiasaan “buka bersama” itu? Adakah nilai-nilai spiritnya sehingga di negeri ini menjadi tradisi yang sangat menarik?
Dalam Islam, perkumpulan (jamaah) sangat dianjurkan, khususnya dalam ibadah. Salat misalnya, betapa pahala yang dijanjikan saat dilakukan secara berjamaah akan diganjar hingga 27 derajat. Ini sangat berbeda jika shalat dilakukan munfarid (sendirian).
Kenapa berjamaah begitu dilebihkan? Karena dalam jamaah akan terjalin kebersamaan yang memiliki hikmah besar. Bagi individu yang shalatnya tidak sempurna akan “ditutupi” oleh kualitas ibadah jamaah lainnya yang lebih bagus, sehingga semua akan mendapatkan pahala yang berlipat. Hal-hal di luar ibadah sangat dianjurkan untuk bersama, bersatu, dan berkelompok dalam rasa, senasib, dan sepenanggungan.
Demikian juga halnya pada soal makan. Dari Wahsyi bin Harb ra, bahwasanya para Sahabat Nabi SAW berkata: “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya kita makan tapi tidak kenyang.” Rasulullah lalu bersabda: “Mungkin kalian makan dengan tidak berkumpul?” Mereka berkata: “Ya.” Beliau menjawab: “Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah nama Allah SWT padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.”
Selain itu, di antara yang menunjukkan atas keberkahan dari makan bersama adalah apa yang diriwayatkan Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:
“Makanan dua orang cukup untuk tiga dan makanan untuk tiga orang mencukupi untuk empat orang.’”
Imam an-Nawawi, seorang Faqih, menarik kesimpulan besar bahwa hadits tersebut mengandung anjuran agar diantara kita saling berbagi makanan. Meski, makanan itu sedikit tetapi akan terasa cukup, dan di sana ada keberkahan yang diterima oleh hadirin.
Hal sama dikatakan Ibnu Hajar, bahwa kita dapat mengambil hikmah, kecukupan itu hadir dari keberkahan berkumpul saat makan. Semakin banyak anggota yang berkumpul, maka akan semakin bertambah berkahnya.
Dengan demikian beberapa ulama berpendapat, bahwa berkumpul saat makan adalah mustahab (disunnahkan) dan tidak dianjurkan makan seorang diri.
Dalam konteks buka puasa bersama, atau dikenal dengan BUKBER, memiliki kesamaan maksud seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah. Terlebih lagi saat momen-momen bulan suci Ramadan yang memiliki tingkat spiritualitas tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
Pada saat BUKBER akan tekandung nilai-nilai spiritual, di antaranya adalah kebersamaan saat santap buka puasa yang disunnahkan, terjalin ikatan persaudaraan (ukhuwah) yang kuat, membangun kebersamaan dalam syiar Islam, berbagi makanan kepada orang yang berpuasa, shalat Maghrib, Isya, dan Tarawih secara berjamaah, bisa juga didahului dengan berbagai aktifitas keagamaan lainnya, seperti pengajian, doa dan zikir bersama dan lain-lain.
Momen BUKBER juga menjadi jembatan silaturrahmi antara keluarga, sahabat, dan ikatan sesama manusia yang sangat bemanfaat bagi kehidupan sosial umat.
Namun yang paling penting dari itu semua adalah bahwa kegiatan BUKBER didasarkan pada alasan tertinggi dalam beragama, yaitu perayaan ajaran Allah dengan hati suka cita dan sikap kepatuhan kepada Sang Khaliq. Wallahu a’lam []