TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menyayangkan masih tingginya harga-harga kebutuhan pokok di pasar-pasar. Hal tersebut terjadi walaupun pemerintah telah menetapkan harga acuan.
“Hasil temuan KEIN menunjukkan adanya deviasi atau perbedaan harga yang sangat tinggi antara harga di pasar dengan harga acuan,” ujar Arif kepada wartawan, Rabu (7/6/2017).
Sebelumnya, Menteri Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27 tahun 2017 yang merupakan revisi dari Permendag Nomor 63 tahun 216 tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Konsumen. Sejatinya, peraturan ini menjadi acuan para pedagang saat menjual kebutuhan pokok kepada konsumen akhir.
Namun faktanya, Arif Budimanta menyampaikan, hasil pantauan KEIN menemukan bahwa harga di pasar masih jauh di atas harga acuan. Hal itu, terutama terlihat untuk komoditas beras, gula pasir, dan daging sapi.
Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) menunjukkan, untuk tiga komoditas utama tersebut harganya jauh lebih mahal. “Bahkan informasi harga kebutuhan pokok yang dipublikasikan oleh Kementerian Perdagangan juga menunjukkan hal itu,” paparnya.
Berdasarkan data PIHPS untuk periode September 2016 hingga 2 Juni 2017, rata-rata harga beras medium masih 17,2 persen di atas harga acuan. Sedangkan data Kementerian Perdagangan mengungkap selisih harga di pasar dengan harga acuan mencapai 12,08 persen.
Untuk harga gula pasir, rata-rata perbedaannya versi PIHPS mencapai 10,5 persen. Sedangkan pada data Kementerian Perdagangan mencapai 12,7 persen.
Sementara untuk harga daging beku, realisasi harga di pasar mencapai 47,4 persen. Data versi Kementerian Perdagangan, perbedaannya hingga 43,1 persen.
Arif Budimanta mensinyalir, kondisi di luar harapan tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya rantai distribusi yang panjang dari produsen hingga ke konsumen akhir, sehingga terjadi ekonomi berbiaya tinggi. “Seharusnya hal ini juga menjadi perhatian Kementerian Perdagangan saat menentukan kebijakan harga acuan,” ujarnya.
Arif juga menyayangkan adanya data kebutuhan pokok yang tidak sinkron antara kebutuhan dan pasokan. “Hal itu terutama terjadi pada komoditas beras dan gula pasir,” paparnya.
Ekonom Senior Megawati Institute Muhammad Islam menambahkan, regulasi yang dibuat oleh Kementerian Perdagangan juga harus lebih rinci dan rigid terkait komoditas yang diatur. Pada komoditas besar misalnya, dia menegaskan bahwa dalam aturan tidak disebutkan jenis beras yang ditetapkan harga acuannya.
Islam juga menyayangkan tidak adanya sistem peringatan dini jika harga sudah menyentuh batas harga acuan yang ditetapkan pemerintah. “Seharusnya Kementerian Perdagangan memiliki sistem peringatan dini untuk harga di pasar dengan baseline harga acuan,” tegasnya.
Lebih lanjut Arif Budimanta menyarankan agar pemerintah ikut memberdayakan Tim Pengendali Inflasi daerah (TPID) serta Tim Ketersediaan dan Stabilisasi Harga Barang Kebutuhan Pokok yang berada di bawah Kementerian Perdagangan, dalam pengendalian harga acuan. “Mereka bisa melakukan monitoring dan evaluasi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Arif, yang tak kalah pentingnya adalah terkait dengan sinkronisasi data kebutuhan dan pasokan. Untuk hal ini, dia menyarankan agar dilakukan secara regional, sehingga akurasinya lebih terjaga. “Pemerintah daerah dapat dilibatkan dalam hal ini,” tandasnya.