Oleh: Prof Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
TRIBUNJATENG.COM - Perbuatan baik yang dilakukan secara ikhlas itu bagaikan emas. Di mana pun emas tetap dihargai orang meskipun terjatuh di lumpur.
Sedangkan pekerjaan baik, tetapi dijalani karena niat pamer, haus pujian, dan merasa telah menanam jasa pada orang lain, nilai kebaikannya akan rusak. Orang akan segan menaruh respek.
Lebih-lebih jika secara sadar mengungkit dan menghitung-hitung kembali jasa-jasanya, apa yang semula laksana emas berubah menjadi perunggu. Tidak lagi berkilau.
Makanya hati-hati pada penyakit yang satu ini, yaitu perasaan dirinya orang baik, orang hebat, dan telah berbuat banyak jasa bagi orang lain, atau lebih luas lagi bagi bangsa dan negara. Orang bijak bilang, kalau engkau telah berbuat baik, tak perlu kau katakan.
Biarlah orang lain yang akan menilai dan menceritakan. Sebaliknya, jika engkau berbuat salah, katakan, akui dan minta maaf.
Mengakui kesalahan dan kekurangan diri tak akan membuat derajat seseorang jatuh. Justru sebaliknya. Tetapi ketika seseorang suka memuji dirinya dan menceritakan apa yang telah diperbuat untuk masyarakat, justru orang yang mendengarnya cenderung mencibir. Menganggapnya kurang ikhlas dan minta balas jasa.
Apa yang saya kemukakan di atas mudah diamati dalam pergaulan hidup sehari-hari. Bahkan juga dalam cerita kehidupan politik. Ada orang yang senang menonjolkan kelebihan dirinya.
Padahal, tak perlu dikatakan, ibarat pohon yang tinggi, orang akan tahu dan mengakui ketinggiannya, tanpa harus menyebut dirinya tinggi. Pribadi yang selalu haus pengakuan dan pujian hanyalah membuat lelah dan kecewa.
Di negara otoriter, seperti Korea Utara, memang benar-benar terjadi. Rakyat direkayasa untuk memberi tepuk tangan gemuruh memuji presidennya setiap habis pidato.
Ketika melewati patungnya, harus menunduk memberi hormat. Bahkan melipat uang yang ada foto presidennya mesti dihindarkan. Ini saya lihat sendiri ketika 1981 jalan-jalan ke Pyongyang (ibukota Korea Utara) yang saya kira sampai sekarang masih belum berubah.
Pemimpin yang senang pujian biasanya akan dikelilingi oleh orang-orang yang bertipe yesman. Akan selalu mengatakan yes pada atasannya, selalu berusaha menyenangkan atasannnya, sekalipun hati kecilnya tidak menyetujui.
Anak buah seperti itu sesungguhnya tanpa disadari bagaikan racun yang akan membunuh karier atasannya. Tapi dalam sejarah memang ada saja tipe pemimpin yang senang dipuji-puji dan antikritik. Padahal orang bijak bilang, kritik itu madu, pujian itu mengandung racun.
Jika dibawa dalam ranah agama, segala pujian itu hanya milik Tuhan. Kita diajarkan menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kebaikan orang, tetapi secara proporsional, tanpa menghilangkan kewajiban untuk menegur secara bijak jika salah.
Kita memuji seseorang atas prestasinya namun tetap menyadari di atas semua itu sejatinya hanya Tuhan pemilik segala pujian. Alhamdulillahi robbil alamin. Segala pujian hanya milik Allah, pencipta dan pengendali jagad semesta ini.
Rasulullah Muhammad menyebut pengikutnya menggunakan sebutan sahabat. Begitu egaliter. Bahkan beliau berkata, "Inni la uridu minkum jazaan wa la syukura (Aku tidak meminta imbalan dan pujian apapun dalam melakukan ajakan kepada kalian semua menuju jalan yang benar)."
Coba buka Alqur'an (2:264), siapa yang bersedekah tetapi tidak tulus, ataupun berbuat kebaikan untuk mencari pujian orang lain, apa yang dilakukan sia-sia di hadapan Tuhan. Tak akan menyisakan kebaikan sedikitpun.
Jadi, keikhlasan sangat penting, terlebih bagi seorang pemimpin. Konsep ikhlas tidak berarti kerja serampangan, melainkan justru kerja serius baik lahir maupun batin.
Mereka yang bekerja tulus untuk rakyat, bangsa dan negaranya biasa disebut pahlawan atau pahalawan. Mereka sangat layak memperoleh pengakuan dan respek karena kebajikan luar biasa yang telah dilakukan.
Mereka yang akan memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Namun bisa saja baik pahlawan di mata manusia beda timbangannya dari pahlawan di mata Tuhan.
Tentang kerja keras dan ketulusan ini saya jadi ingat teman dari Bali bercerita. Dulu seorang pelukis Bali yang hebat, ketika melukis semata didorong sebagai persembahan pada Tuhan.
Oleh karena itu dia kerjakan sebaik dan seindah mungkin. Ia tidak mau menuliskan namanya dalam kanvas agar tidak diketahui orang siapa pelukisnya, sehingga tidak merusak ketulusan persembahannya pada Tuhan.