Lantunan ayat suci Al-Quran sayup terdengar di seantero Masjid Rahmat di kawasan Kembang Kuning, Surabaya, saat Surya.co.id berkunjung ke sana beberapa hari lalu, saat pertengahan Ramadhan. Selama bulan suci ini, masjid tertua di Kota Surabaya itu memang tak pernah sepi dikunjungi umat Islam untuk beribadah.
Laporan Wartawan Surya, Fatimatuz Zahro
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Masjid Rahmat terbilang megah. Jauh sebelum kemerdekaan sekitar abad ke 14, bentuknya sama sekali tidak semegah sekarang.
Di masjid tempat Raden Sayyid Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat menyebarkan agama Islam di Tanah Surabaya ini dulunya hanyalah masjid tiban.
Jejak masjid tiban itu memang tak banyak bisa dilihat saat ini. Namun jika masuk ke dalam masjid, ada
empat pilar besar. Empat pilar itulah yang dulunya adalah empat tiang penyanggar masjid tiban ini.
"Masjid Rahmat adalah masjid tertua di Surabaya, dulu bukan masjid seperti ini, hanya gubuk surau tiban. Atapnya hanya dari bambu dan jerami," ucap Syafii, pengurus Yayasan Masjid Rahmat.
Ihwal berdirinya masjid tiban ini dimulai Raden Rahmat atau Sunan Ampel baru tiba dari Majapahit. Sebelum sampai di Ampeldento, ia melintas di Kembang Kuning melalui Sungai Brantas yang ada di depan Masjid Rahmat. Hanya dengan perahu kecil, lantas ia memutuskan singgah.
Di sini, putra Maulana Malik Ibrahim atau Asmoro Qondhi memutuskan untuk menyebarkan agama Islam. Sesuai tradisi zaman dahulu siapa yang ingin bertahan di suatu wilayah, maka ia harus pandai berduel.
"Raden Rahmat pun berduel adu kesaktian dengan Mbah Wirasoeroyo, tokoh Kembang Kuning yang
berjuluk Ki Mbang Kuning. Saat itu beliau masih beragama Hindu," ujar Syafii.
Duel itu menunjukkan kemampuan Raden Rahmat. Ia memenangkan duel yang cukup alot itu. Mbah Wirasoeroyo takluk dan mau memeluk Islam.
Mbah Wirasoeroyo mengangkat Raden Rahmat menjadi menantu dengan menikahkannya dengan
putrinya, Karimah. Di surau inilah Raden Rahmat berdakwah mengajarkan ajaran agama Islam.
Ia mengajarkan warga Kembang Kuning tentang Allah dan Nabi Muhammad. Lewat pendekatannya yang halus dan mudah bergaul merangkul sesama, ajaran Raden Rahmat diterima banyak khalayak.
"Sampai saat ini ajaran beliau masih dilestarikan, seperti megengan, tahlilan, dan juga membaca wiridan," Syafii menambahkan.
Langgar tiban ini baru direnovasi sekitar 1967. Saat itu negara sudah merdeka. Masjid ini dipugar untuk bisa menampung banyak jemaah yang ingin belajar agama Islam dan beribadah.