News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2018

Mutiara Ramadan: Membincang Ikhlas

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Berkah dari berbagi.

Prof Dr Komaruddin Hidayat
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

SERING kita jumpai pemuda yang merasa dirinya kaya, secara ekonomi berlimpah, namun hidupnya tidak bahagia karena semua itu hasil kerja orangtuanya.

Dia tidak memiliki ketrampilan dan kepandaian yang dibanggakan.

Di hatinya merasa iri dan malu terhadap teman sebayanya yang bisa bekerja secara professional dan hasil karyanya mendapat penghargaan dari masyarakat.

Jadi, kerja, harga diri, dan kebahagiaan saling terkait serta saling mengisi.

Persoalan muncul ketika bekerja secara terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Yang demikian ini dialami oleh banyak penduduk Indonesia.

Langkah pertama adalah mengembangkan ketrampilan dan mencari pekerjaan yang cocok dan disenangi, entah di lingkungan lama ataupun baru.

Kedua, jika kondisi eksternal tidak bisa diubah, seseorang harus mengubah kondisi internalnya dengan belajar mencintai pekerjaan yang tersedia.

Baca: Bagaimana Meraih Hidup yang Bermakna?

Di atas itu semua, seseorang akan merasa bermakna hidup dan aktivitasnya kalau memiliki niat dan pandangan hidup mulia.

Pandangan bahwa hidup adalah festival yang harus dirayakan.

Hidup adalah anugerah yang mesti dijalani, disyukuri serta dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Kalau kita bekerja semata mengharapkan insentif material-duniawi, bersiaplah untuk kecewa.

Kebaikan orang biasanya bersyarat dan terbatas.

Orang cenderung memikirkan dirinya sendiri dan enggan berkorban serta memberi berlebih pada orang lain kecuali ada kalkulasi untung rugi.

Kecuali mereka yang benar-benar menghayati kemuliaan dan kebahagiaan itu justru terletak dalam mencintai dan memberi, bukannya meminta dan mengambil, sebagai rasa syukur pada Sang pemberi hidup.

Jadi, berbahagialah mereka yang berhasil mempertemukan: bekerja, bermain, beramal saleh, bermasyarakat dan mensyukuri hidup secara penuh keikhlasan.

Baca: Mantan Pengacara Setya Novanto Terdiam Dituntut 12 Tahun Penjara

Mengapa ikhlas? Karena ikhlas adalah ruh kehidupan dan sumber kebahagiaan.

Ikhlas hanya bisa keluar dari pribadi yang bekerja dengan semangat memberi dan melayani, bukan mengejar upah dan tepuk tangan.

Orang yang bekerja semata mengejar upah, durasi kesenangannya hanya sesaat, yaitu ketika menerima uang.

Begitu uang dibelanjakan dan habis dibagi, kesenangan menghilang. Ada nasihat klasik, ikhlas itu ibarat burung yang bernyanyi.

Dia menyanyi karena bisanya dan hobinya menyanyi, tidak mengharapkan pujian dan tepuk tangan dari pendengarnya.

Ada lagi yang mengibaratkan melayani dan menolong orang secara ikhlas itu bagaikan orang membuang hajat.

Dia merasa lega dan bahagia setelah mengeluarkan dan tak ingin mengingat-ingat kembali.

Bukan Meminta
Bekerja keras tanpa disertai tindakan cerdas dan ikhlas ujungnya hanya kekecewaan.

Di dalam melayani dan memberi, seseorang merasa bangga pada dirinya karena hidupnya merasa bermakna dan membawa manfaat bagi orang lain.

Dengan memberi, seseorang merasa kaya. Oleh karena itu agama banyak mengajarkan memberi bukannya meminta dan menerima.

Orang yang sibuk bekerja jika tidak ikhlas dan tidak tahu untuk apa dan siapa yang dia lakukan, mudah menimbulkan rasa lelah.

Jadi, agar pekerjaan dapat dilakukan dengan baik dan sempurna serta melegakan hati, mesti didasari pemahaman, ketrampilan, dan keikhlasan.

Perbuatan dan ucapan yang keluar dari hati yang ikhlas juga akan dirasakan oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya.

Kalaupun terjadi salah paham akan mudah diselesaikan secara damai.

Orang yang ikhlas akan mudah menerima kritik dan tidak mudah sakit hati.

Bahkan kritik akan diterima secara lapang hati dan ucapan terima kasih agar tidak merusak amalnya.

Rasulullah pernah bersabda, orang hidup yang perbuatannya absen dari ruh keikhlasan itu ibarat mayat berjalan. Tidak akan tercatat sebagai amal saleh.

Dalam Alquran bahkan disebutkan, orang yang berderma menolong orang lain tetapi mengharap pujian atau niatnya pamer, hilanglah semua kebajikannya.

Dia tidak mendapatkan apa-apa dari yang telah dikerjakannya kecuali kecewa. (Albaqarah 2:264).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini