Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah ahli mengatakan bahwa membatasi asupan makanan pada siang hari dapat membantu mencegah masalah kesehatan dan meningkatkan fungsi mental.
Para muslim diperintahkan untuk berpuasa sejak lebih dari 1.400 tahun yang lalu.
Namun ternyata di sisi lain, puasa juga dilakukan oleh orang Yunani kuno untuk menyembuhkan penyakit.
Dan hari ini, beberapa Ilmuwan menganjurkan puasa yang telah dimodifikasi demi kesehatan mental dan fisik.
Dikutip dari laman Al Jazeera, Senin (6/5/2019), dikenal sebagai puasa intermiten, puasa yang dimodifikasi ini dilakukan dalam beberapa bentuk.
Mereka yang berpuasa menggunakan cara ini tidak makan selama 12, 16 hingga 24 jam pada satu waktu.
Baca: PUASA SEHAT - Air Putih Sangat Penting, 8 Gelas Air Hindari Dehidrasi dan Kulit Kering
Sedangkan puasa bentuk lainnya dilakukan untuk mendukung pembatasan kalori, dengan mengkonsumsi makanan hanya sebesar 500 hingga 600 kalori selama 36 jam dan dilakukan dua kali dalam sepekan.
Sebuah buku berjudul 'Eat Stop Eat' karya Brad Pilon yang diterbitkan pada 2007 lalu, merekomendasikan untuk tidak makan selama 24 jam sekali atau dua kali dalam satu minggu.
Ini memberikan masing-masing orang kebebasan untuk memutuskan kapan mereka bisa memulai dan mengakhiri puasa.
Pada 2012 lalu, Michael Mosley merilis film dokumenter 'Eat, Fast and Live Longer' serta menerbitkan buku terlarisnya 'The Fast Diet'.
Keduanya berdasar pada konsep 5:2 puasa intermiten.
"Dalam The Fast Diet, saya menganjurkan bentuk puasa yang disebut 'makan terbatas waktu'," kata Mosley kepada Al Jazeera.
Ini hanya melibatkan makan dalam jam-jam tertentu, mirip dengan bentuk puasa yang dilakukan oleh umat Islam selama Ramadan.
"Manfaat yang terbukti adalah termasuk peningkatan kualitas tidur dan bukti penurunan resiko terhadap beberapa penyakit kanker, khususnya kanker payudara,".