KH Cholil Nafis Lc MA PhD
Ketua Komisi Dakwah MUI
SETIAP rasul yang diutus kepada umat manusia untuk membawa risalah kenabian pasti diwajibkan menjalankan ibadah puasa.
Seperti puasa Daud yang lamanya setengah tahun, caranya selang seling, yaitu satu hari puasa dan satu hari berbuka, atau puasa pada hari-hari terang bulan (ayyam a-baidh), yaitu tanggal 13,14 dan 15 bulan Qamariyah.
Demikian Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah terakhir menerima kewajiban puasa Ramadan sebulan penuh dan disunnahkan puasa enam hari di bulan Syawal.
Puasa sunnah itu untuk menyempurnakan puasa Ramadan.
Secara kalkulatif, manakala setiap hari puasa dapat dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali lipat, puasa 30 hari dapat meraih pahala 300 hari.
Baca: Kata SBY, Ada Sejumlah Tokoh yang Senang Menentang Siapapun Presiden RI, Itu Kebahagiaannya
Atau manakala 30 hari dapat menyehatkan pankreas dan pencernaan yang diistirahatkan melalui puasa sepuluh kali lipat maka selama 300 hari, berarti belum sampai satu tahun.
Karenanya dengan ditambah enam hari bulan Syawal akan dapat menyempurnakan pahala Ramadan menjadi setahun penuh, yaitu 360 hari.
Hitungan sederhana inilah yang ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya: "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim).
Menyempurnakan puasa di bulan Ramadan melalui amalan sunnah adalah keniscayaan untuk menggapai keutamaan Ramadan.
Kewajiban puasa dalam Islam adalah rukun yang diumpamakan bagaikan batang tubuh yang perlu dihias dengan amalan sunnah.
Karenanya, hanya di bulan Ramadan diwajibkan ibadah Salat Tarawih.
Nabi SAW sangat senang Salat Tarawih untuk qiyam al-lail (bangun malam) Ramadan.
Salat Tarawih artinya salat santai penuh kekhusyuan, bahkan di antaranya diselingi dengan thawaf di Ka’bah tujuh kali putaran.
Adapun jumlah rakaatnya memang menjadi perselisihan di antara para ulama.
Yaitu delapan raka’at ditambah salat witir tiga rakaat menjadi 11 rakat menurut Hadits Siti Aisyah.
Namun Ijtihad Sayyidina Umar bin Al-Khaththab, Salat Tarawih menjadi 23 rakaat.
Bahkan pendapat Imam Malik Salat Tarawih 36 rakaat.
Sebenarnya umat Islam tak perlu memperpanjang perdebatan masalah khilafiyah jumlah rakaat Salat Tarawih agar tidak habis energi apalagi sampai menjadi perpecahan antar umat.
Saat mengerjakan Salat Tarawih acapkalai para ulama salafu al-shalih menjadikan sarana tadarrus untuk mengkhatamkan Alquran.
Setiap rakaat salat membaca Al-Qur’an sangat panjang sehingga pada bulan Ramadan dapat mendengar dan membaca keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an al-Karim.
Ada sebagian ulama yang mentradisi khatam Al-Qur’an di bulan Ramadan.
Misalnya, Al-Aswad bin Yazid, seorang ulama besar tabi’in yang meninggal dunia tahun 75 Hijriyah di Kufah, mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam.
Qatadah bin Da’amah yang meninggal tahun 61 Hijriyah biasanya mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tujuh hari.
Namun jika datang bulan Ramadhan ia mengkhatamkannya setiap tiga hari.
Ketika datang sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, ia mengkhatamkan setiap malam.
Imam syafi’I yang sengaja selama bulan Ramadan mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 60 kali.
Ditambahkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa khataman tersebut dilakukan dalam salat. (Siyar A’lam An-Nubala’, 10: 36).
Amalan Sunnah yang tak pernah ditinggalkan di bulan Ramadan dan selalu diniatkan untuk dikerjakan Rasulullah SAW adalah I’tikaf.
Bahkan khusus sepuluh terakhir bulan Ramadan, Nabi SAW lebih fokus dan meluangkan waktunya lebih banyak untuk digunakan beri’tikaf.
Diriwayatkan dari Aisyah ra: ” Apabila telah masuk hari kesepuluh, yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah SAW mengencangkan kain sarungnya dan menghidupkan malam-malam tersebut serta membangunkan istri-istrinya (Muttafaq Alaihi)'
Sebab di malam-malam ganjil itulah hadiah terbesar bulan Ramadan berupa Lailatul Qadar diturunkan.
Siapa yang mendapatkannya, pahalanya lebih baik dari seribu bulan atau 83 tahun.