News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2019

Jadikan Ramadan Momentum Pengetahuan Diri Sendiri Lebih Dalam

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Peserta Ngepunkburit sedang belajar membaca Al-Quran di kolong jembatan layang Tebet, Jakarta, Sabtu (11/5/2019). Peserta yang kebanyakan dari anak jalanan dan komunitas punk mengisi bulan Ramadan dengan diskusi keagamaan, pengajian, dan permainan edukasi untuk anak-anak yang diprakarsai oleh Tasawuf Underground serta sejumlah relawan mahasiswa. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM - Marhaban ya Ramadhan. Manusia dalam pandangan Islam mengandung dua unsur utama. Yaitu, organ fisik dan jiwa (nafs).

Jika salah satu dari keduanya hilang atau tidak berfungsi dengan baik, maka manusia dapat dikatakan tidak sempurna atau cacat.

Jika salah satu organ manusia tidak berfungsi, manusia tersebut disebut cacat. Maka, begitu pula, jika jiwa kita mati atau tidak berfungsi, maka seharusnya disebut pula manusia cacat.

Yaitu cacat jiwa. Manusia yang cacat raga, masih bisa berfikir sehat dan beriman. Akan tetapi, jika yang cacat adalah jiwa, maka inilah yang disebut penyakit hati (maradh qalb).

Jiwa yang cacat adalah jiwa yang di dalamnya diserang oleh penyakit hati; sombong, riya’, hasud, iri, dengki dan lain-lain.

Cacat jiwa di sini bukan gila. Hilang akal. Tetapi hilang adab dan hilang hatinya. Jika hati dan adab hilang, maka manusia akan dikuasai oleh hawa nafsu.

Nafs atau hati (qalb) merupakan unsur pengendali yang mengatur raga. Oleh karena itu, komponen ini merupakan unsur yang sangat pengting dalam diri manusia untuk mengatur segala aktifitasnya.

Jika raga membutuhkan makanan, maka jiwa pun lebih butuh ‘nutrisi’yang lebih. Makanan jiwa adalah dengan ilmu dan ibadah. Jangan biarkan jiwa kita kelaparan, disebabkan tidak pernah ‘mencicipi’ ilmu, atau kurang ibadahnya.

Sayangnya, banyak di antara kita lebih mementingkan kebutuhan raga daripada kebutuhan jiwa. Cacat raga tetapi jiwa dan hati masih sehat, maka manusia itu masih bisa berfikir normal. Akan tetapi jika raga sehat tetapi jiwa cacat, maka akal tidak bisa bekerja dengan normal.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas membagi jiwa menjadi dua. Pertama, jiwa aqli (al-nafs al-natiqah). Kedua, jiwa hayawani (al-nafs al-hayawaniyyah).

Menurutnya, adab terhadap diri adalah jika jiwa aqli mampu mengendalikan jiwa hayawani sehigga tunduk dalam kekuasaannya.

Artinya meletakkan jiwa aqli dan jiwa hayawani pada tempatnya yang wajar (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal.43). Sebab, jiwa aqli lebih tinggi kedudukannya daripada jiwa hayawani.

Jika jiwa aqli yang menguasai jiwa hayawani, maka jiwa tersebut menjadi jiwa Islami. Jiwa yang tunduk kepada aturan-aturan Allah Swt.

Inilah yang disebut al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Yaitu jiwa yang jika melaksanakan ketaatan dan ibadah dia akan merasakan ketenangan jiwa. Sebaliknya, jiwa ini tidak tertarik lagi untuk memenuhi dorongan syahwat setan.

Sehingga, manusia yang hanya sibuk memberi kepuasan raga daripada memberi makanan jiwa adalah manusia yang kehilangan adab (loss of adab) kepada dirinya sendiri.

Jiwa hayawani lebih tunduk kepada perintah setan. Dan justru lebih bersemangat untuk menentang Tuhan-nya. Jika jiwa manusia itu ringan bermaksiat, maka jiwanya dikendalikan setan.

Karena itu, manusia yang tidak merasa berat menghina Allah, menghina Rasul-Nya dan agama Islam adalah manusia yang cacat. Yakni cacat jiwanya. Disebabkan jiwa hewani menguasainya. Sedangkan jiwa aqlinya mati.

Dapat dikatakan, manusia yang taat pada Allah Swt adalah manusia yang rasional. Menggunakan akal sehatnya. Sebaliknya manusia yang menentang Allah adalah makahluk yang jasadnya manusia tetapi jiwanya hewan

Manusia yang cacat jiwanya adalah manusia yang seluruh jiwanya dikuasai oleh jiwa hayawani. Sesuai dengan namanya – hayawan — kesibukannya hanya untuk kebutuhan perut, seksual dan pembentukan raga.

Perbedaan manusia dan hewan, salah satu di antaranya adalah, manusia memiliki hati, sedangkan hewan memiliki nafsu.

Karena itu, penyakit-penyakit hati seperti tamak, takabbur, hasud, iri dan lain-lain bisasanya ditumbuhkan oleh jiwa yang hanya menuruti kebutuhan perut dan seksual saja.

Dikisahkan oleh imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin bahwa Iblis suatu ketika pernah menampakkan diri kepada Nabi Yahya alaihissalam dalam keadaan tergantung pada lehernya beberapa gantungan-gantungan. Nabi Yahya bertanya kepadanya: “Wahai Iblis, apa yang menggantung di lehermu”? Iblis menjawab: “Inilah syahwat hawa nafsu manusia yang dengannya aku menggoda para manusia”.

Lalu Nabi Yahya bertanya lagi: “Apakah ada sesuatu yang dapat meredam serta mencegah terlampiasnya syahwat-syahwat tersebut yang kau jadikan senjata kapda manusia”? Iblis menjawab: “Ketika engkau merasa kenyang karena makanan, maka aku akan jadikan dirimu berat untuk melaksanakan shalat dan berdzikir kepada Allah”.

Perkara yang harus dipersiapkan jiwa adalah melakukan ibadah dengan khusyu’ supaya terhindar dari segala penghalang yang akan merintangi datangnya rahmat Allah Swt. Di antara yang menyebabkan terhalangnya rahmat Allah adalah durhaka kepada orang tua, permusuhan sesama Muslim, istri durhaka kepada suami dan meminum khamar atau barang haram, hasud, iri dan sombong.

Maka, hendaknya setiap Muslim sudah seharusnya menghilangkan penghalang-penghalang yang merintangi jiwanya untuk meraih rahmat Allah Swt.

Tetapi, tidak kalang penting dari hal tersebut adalah menghadiri majelis ilmu. Karena, makanan jiwa manusia itu adalah ilmu.

Imam Ahmad pernah mengatakan: “Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada (mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang nafasnya.” (Lihat Thabaqat Al-Hanabilah I/146).

Semakin sering menghadiri majelis ilmu, maka semakin mudah jiwa itu disembuhkan dari tipu daya setan. Ibnu Athoillah mengatakan pernah mengatakan kepada seseorang: “Jika kau menghadiri majelis ilmu, lalu kembali melakukan maksiat, janganlah berkomentar: ‘Apa gunanya aku hadir’? Namun, tetaplah hadir! Selama empat puluh tahun jiwamu menghidap penyakit, lalu kau berpikir penyakitmu akan hilang dalam sekejap atau satu hari?” (Ibnu Athoillah al-Sakandari,Tajul Arus, hal.423).

ARTIKEL INI TELAH TAYANG DI gontornews.com dengan judul: https://gontornews.com/2019/05/05/ramadhan-dan-mengenal-diri-insan/

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini