News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2019

Kopi, Pasta, dan Samosa yang Ngehit di Dunia Ternyata Dipengaruhi Transformasi Kuliner Islami

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Samosa.

TRIBUNNEWS.COM - Perkembangan sejarah kuliner halal secara Islam menempuh banyak peradaban yang memengaruhinya.

Keberadaan kuliner Islami di berbagai tempat tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan ekspansi agama Islam ke berbagai belahan dunia.

Ekspansi kuliner ini nantinya berpengaruh kepada cita rasa masakan khas negara-negara di Asia, khususnya Asia Tengah dan Asia Selatan.

Karakteristik utama hidangan-hidangannya antara lain penggunaan tepung gandum, penambahan rempah-rempah yang kaya, serta camilan yang menitikberatkan kepada rasa manis.

Tidak hanya itu, kuliner Islami juga berpengaruh kepada lahirnya makanan-makanan yang mendunia, seperti kopi, pasta, dan samosa.

Perkembangan kuliner Islami berlangsung dalam tiga tahap.

Baca: PUASA SEHAT, Pecinta Kopi Masih Bisa Ngopi Saat Ramadan, Tapi Jangan Diminum Saat Sahur, Ini Triknya

Pertama, penyebaran kuliner hasil asimilasi kultur Persia dengan Islam (Perso-Islamic) yang terbentuk di abad ke-8 dan ke-9 ke Mesopotamia barat, Afrika Utara, beberapa wilayah Eropa selatan, dan India bagian barat.

Penyebaran ini membawa serta metode pemrosesan makanan, khususnya penghalusan dan distilasi gula, yang kemudian melahirkan jenis-jenis sirup yang dipakai dalam bidang medis, alkemis, dan tentunya masak-memasak.

Pemrosesan gula ini juga membantu menciptakan berbagai macam minuman dan gula-gula dari kacang-kacangan, buah-buahan, dan tepung gandum, serta munculnya penambah rasa seperti air bunga mawar atau bunga jeruk.

Tahap pertama ini berakhir ketika bangsa Mongol menginvasi daerah kekuasaan Islam, yang kemudian menggantikan kuliner Perso-Islamic dengan kuliner kekaisaran Mongol.

Ilustrasi Teh dan Kopi (pulse.com.gh)

Gula merupakan bahan makanan yang berasal dari inovasi dunia Muslim. Photo: Shutterstock

Tahap kedua ditandai dengan dikuasainya jazirah Persia oleh bangsa Mongol.

Pada masa ini, kuliner praktis khas bangsa Mongol yang nomaden berpadu dengan sentuhan Perso-Islamic, Turko-Islamic, dan Konfusionisme-Taoisme-Buddhisme.

Ajaran-ajaran agama tersebut tidak hanya meresap ke dalam filosofi kuliner Mongol, namun juga pada beberapa aspek gaya hidup mereka.

Baca: Trik Agar Masakan Tetap Lezat Saat Harga Bawang Putih Meroket, Bisa Diganti Bumbu Ini

Museum pasta di Italia (Orange Smile)

Asimilasi kuliner Mongol dan Persia Islam serta Turki Islam utamanya terjadi di daerah Iran.
Hingga kini, jejak asimilasi tersebut tercetak di Asia Tengah, beberapa daerah di utara Tiongkok, serta masih sedikit terasa di Rusia.

Tahap ketiga dimulai sejak sekitar abad ke-15, yang ditandai dengan asimilasi kultur Turki dengan Islam atau kultur Turko-Islamic.

Kuliner Turko-Islamic terus diperbarui dan disempurnakan seiring dengan kejayaan dinasti Utsmaniyah, Safawi, dan Mughal, dan mampu menyentuh wilayah selatan Sahara hingga Indonesia.

Pada masa tersebut, lahir dua inovasi penting dalam dunia kuliner: pertama, nasi atau masakan dari jenis beras lainnya yang dimasak dengan metode pilaf (ditumis dalam rempah-rempah dan minyak dan ditanak dengan kaldu). Kedua, minuman hangat yang kini kita kenal sebagai kopi.

Dikutip dari Gana Islamika Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (1): Perso-Islamic
https://ganaislamika.com/islam-dan-transformasi-kuliner-dunia-1-perso-islamic/

makanan Timur Tengah (cookingtheglobe.com)

Kuliner Perso-Islamic (700-1250 M)

Masyarakat Islam dua generasi setelah Rasulullah SAW wafat di tahun 632 M, telah berhasil menguasai Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol.

Percampuran wilayah-wilayah yang berbeda ini menghasilkan banyak variasi dalam bidang kuliner.

Tadinya, kuliner jazirah Arab lebih banyak bergantung kepada jelai (barley), susu, mentega, dan keju yang dipadukan dengan kurma, serta daging kambing.

Namun setelah jalur perdagangan dari India dan lintas Sahara terbuka, bahan-bahan makanan baru pun mulai dikenal, seperti sorgum, beras Asia, tebu, jeruk, semangka, bayam, artichoke, dan terung.

Kuliner Perso-Islamic banyak dipengaruhi oleh masakan khas Kekaisaran Persia Sasaniyah. Sebagai penganut Zoroastrianisme, orang-orang Sasaniyah sangat mengagungkan peran api dalam kegiatan memasak, menganggap hasil kebun sebagai simbol kemakmuran bumi, serta mengutamakan daging ayam dan telur sebagai bahan masakan.

Ketika invasi Islam datang, filosofi kuliner Islami pun ikut memengaruhi masakan-masakan Sasaniyah, belum lagi adanya penambahan elemen-elemen dari Kerajaan Romawi, India, Tiongkok, dan kuliner lokal asal Suriah dan Irak.

Berbagai macam daging merah, kecuali babi dan darah, mulai menjadi semakin populer berkat perayaan Idul Adha.

Berbagai hidangan daging tidak hanya sering disajikan di istana, namun juga menjadi inspirasi bagi para cendekiawan dan pujangga.

Pujangga Ishaq Ibnu Ibrahim bahkan pernah menulis tentang daging isian pastri berbentuk segitiga yang dia sebut sebagai sanbusak.

Sanbusak adalah nama lain dari samosa, yang merupakan suku kata pertama dari kata dalam bahasa Persia yang berarti “tiga”.

Anggur dan arak mulanya masih banyak dikonsumsi sebelum hadits Rasulullah SAW tentang Khamr diinterpretasikan sebagai pelarangan akan minum minuman beralkohol.

Anggur pun akhirnya dilarang, meski pun pelarangannya memakan proses hingga beberapa abad. Anggur masih dijajakan oleh pedagang-pedagang non-Muslim di beberapa tempat.

Gandum dianggap sebagai biji-bijian berharga. Tharid, atau roti yang disiram kaldu, menjadi populer karena disebut-sebut sebagai hidangan kesukaan Rasulullah SAW.

Hingga kini, tharid masih disajikan di Maroko hingga Xinjiang, rumah bagi para Muslim Uyghur.

Tepung gandum dicampurkan dengan air untuk membuat sawiq, minuman yang beberapa kali disebutkan dalam hadits, serta dipercaya dapat menyejukkan diri. Gandum juga dibuat ke dalam hidangan-hidangan lain seperti murri (bumbu yang terbuat roti yang telah basi), kue pastri, dan pasta kering.

Pembuatan pasta kering memakai durum, jenis gandum keras yang dikembangbiakan di Sisilia (Sicily) sejak zaman Kerajaan Romawi.[4] Pasta kering yang dibuat kebanyakan berbentuk lembaran mie tipis (fidaush) atau lembaran tebal (itriyya).

Kata “fidaush” diserap ke dalam bahasa Spanyol menjadi “fideos” yang artinya mie dan menjadi “fedelini” dalam bahasa Italia.[5] “Itriyya” pun diserap menjadi “tria” yang artinya pasta dalam dialek beberapa wilayah di Italia.[6]

Ciri khas kuliner Islami lain pada zaman Perso-Islamic adalah hidangan yang kaya akan warna dan bumbu rempah-rempah. Beberapa yang paling sering digunakan adalah kayu manis, cengkeh, jintan, merica hitam, dan kuma-kuma (safron). Untuk makanan manis, adas manis (anise) adalah rempah paling favorit. Untuk menambah aroma, kadang esens mawar atau bunga jeruk juga ditambahkan.

Selain rempah-rempah dan gandum, hal lain yang sangat disukai zaman itu adalah rasa manis. Berbagai hidangan mulai kue pastri goreng, minuman ringan, mie gandum, hingga nasi tanak sering ditambahkan sirup gula atau madu. Sirup, jus buah manis yang dikentalkan, jeli, dan selai buah-buahan kadang bahkan dipakai juga sebagai obat.

Pemrosesan gula tebu yang ditengarai pertama datang dari India dikawinkan dengan metode filtrasi dari Mesir, Yordania, dan Suriah. Gula hasil proses filtrasi tersebut kemudian banyak digunakan untuk membuat manisan buah-buahan yang akhirnya menjadi camilan khas di Damaskus. Pada tahun 1400, gula sudah bisa ditumbuhkan di Mesir, Suriah, Yordania, Afrika Utara, Spanyol, dan kemungkinan juga di Ethiopia dan Zanzibar, pesisir timur Afrika.

Dengan berjalannya waktu, kekuasaan Islam pun mulai melemah. Dimulai dari jatuhnya Kordoba ke tangan umat Kristiani, hingga kemudian Baghdad yang direbut bangsa Mongol di tahun 1258. Hal ini menandai dimulainya tahap kedua ekspansi kuliner Islami, yaitu era Mongol-Islami.

Pada masa kejayaannya (1200-1350 M), kuliner bangsa nomaden Mongol dipengaruhi oleh sentuhan Tiongkok, Perso-Islamic, dan Turko-Islamic.

Penyebaran kuliner mereka tidak hanya mencakup Asia Tengah dan jazirah Persia, tapi disebut-sebut juga menjangkau Eropa.

Mengutip tulisan Zita Reyninta Sari di Gana Islamika

Bangsa Mongol berhasil merebut Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasiyah, di tahun 1258. Sebelumnya, di bawah kepemimpinan Jengis Khan, bangsa Mongol sudah menguasai Tiongkok, Persia, serta Rusia dan sekitarnya.

Luas kekuasaan mereka hampir setara benua Afrika. Dengan masuknya Baghdad ke dalam wilayah mereka, yang sebelumnya bisa dikatakan sebagai pusat kuliner Perso-Islamic, cita rasa masakan Mongol pun semakin beragam.

Kulit pangsit (net)

Penyebaran Kuliner Islami-Mongol (1200-1350 M)
Area kekuasaan Mongol dilintasi oleh Jalur Sutra, jalur perdagangan internasional yang mengubungkan Tiongkok bagian utara dengan India, Persia, dan Irak, serta wilayah selatan sungai Volga di Rusia.

Tidak hanya pedagang, jalur ini juga sering dilewati oleh penjelajah seperti rombongan Marco Polo dan petugas kekaisaran yang diutus untuk menjalin relasi politik.

Lalu lintas yang sibuk ini mendorong bangsa Mongol untuk mendirikan ibukota pertama mereka di pegunungan Karakoram yang terbentang di perbatasan antara Pakistan, India, dan Tiongkok. Beberapa dekade kemudian, ibukota kedua di kota Khanbalik (yang berarti “kota para khan”) didirikan di tempat yang kini menjadi kota Beijing.

Salah satu karakteristik utama bangsa Mongol banyak makan.

Masakan mereka kebanyakan terdiri dari sup (shülen) yang terbuat dari kuah tulang dan dikentalkan dengan tepung.

Daging seringnya direbus, digoreng, atau diolah menjadi kebab yang dipanggang. Biasanya ditambahkan pula susu, yogurt, dan koumiss.

Kemudian, para khan (gelar kaisar Mongol) menyadari bahwa kuliner bisa menjadi aspek politik yang penting dalam pemerintahan mereka.

Mereka pun mulai memperkaya kuliner imperial Mongol dengan memadukannya dengan filosofi religius setempat.

Mahmud Ghazan, khan pertama yang memeluk Islam setelah menguasai wilayah Iran, dikenal sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh.

Dia adalah salah satu alasan mengapa keturunan Mongol di Asia Tengah kini mayoritas beragama Islam. Bersama tangan kanannya yang juga seorang sejarawan, Rashid al-Din, Ghazan melakukan revolusi finansial hingga agrikultur dalam pemerintahannya.

Dia khususnya berinisiatif memanfaatkan lahan liar untuk meningkatkan produksi sayur mayur.

Sedangkan para khan di Tiongkok banyak memilih untuk tidak masuk Islam. Salah satu alasannya karena mereka tidak terlalu menyukai metode penjagalan binatang dalam Islam yang mengharuskan pengeringan darah.

Mereka merasa lebih cocok dengan gaya masakan Buddhisme, namun dengan tetap mempertahankan konsumsi daging.

Bisa dibilang bahwa pada masa itu, kuliner Mongol berada di antara pengaruh cita rasa masakan Tiongkok, Perso-Islamic, dan Turko-Islamic. Evolusi masakan Mongol terjadi berdampingan dengan masakan Turko-Islamic di daerah Mongol-Islam.

Seperti Mongol, bangsa Turk juga dahulunya nomaden, sehingga kuliner keduanya pun mirip. Namun setelah bangsa Turk menetap di Turki dan memeluk Islam di abad ke-11, kuliner Turko-Islamic yang lebih mewah pun tercipta.

Gandum yang memang menjadi makanan pokok diolah menjadi bermacam-macam santapan lezat, mulai dari bubur bermentega dan gula, puding, pastri, mie, panekuk, roti, dan aneka kue lain.

Sama seperti bangsa Mongol, sup (ash) juga merupakan hidangan yang fundamental di kultur Turko-Islamic.

Mereka juga mengadaptasi cita rasa Perso-Islamic, yang terlihat dari makanan manis seperti sirup, selai, dan gula-gula kacang, serta hidangan gurih seperti semur daging atau sayuran yang ditambah kacang Arab (chickpeas), minuman manis dari buah (sherbet), serta bentuk awal dari kue baklava yang mendunia.

Sementara itu, kuliner Mongol yang berkembang di wilayah Tiongkok, lebih banyak mengambil elemen dari perpaduan masakan Konfusionisme-Taoisme-Buddhisme yang banyak menggunakan biji-bijian dan beras.

Sup Mongol yang ingin diberi sentuhan Tiongkok akan ditambahkan tepung ketan, bihun, lobak putih, kubis, dan jiaozi isi daging kambing.

Jiaozi memang berasal dari Tiongkok dan biasanya berisi daging babi, namun kini menjadi salah satu penganan yang populer di dunia. Di Jepang (dan dalam bahasa Inggris), dia disebut gyoza.

Di Indonesia dia dikenal sebagai pangsit berkulit tebal yang berisi daging sapi atau ayam cincang.

Bahkan ada yang berpendapat bahwa jiaozi dibawa oleh Marco Polo dari Tiongkok dan diadaptasi menjadi pierogi khas Polandia.

Bagaimanapun modifikasinya, para ahli sepakat bahwa penyebaran jiaozi memang dipicu oleh ekspansi bangsa Mongol.
Pangsit atau Jiaozi, makanan Tiongkok yang berisi daging babi. Berkat pengaruh Mongol-Islam makanan ini menjadi populer di dunia, dan isinya berganti menjadi daging ayam atau sapi.

Bangsa Mongol menciptakan jalur-jalur perdagangan baru agar kuliner mereka terus lestari. Tidak hanya melalui darat, perdagangan juga berlangsung lewat laut.

Marco Polo menulis tentang pelabuhan “Zaitun” yang dia sebut sebagai pelabuhan yang makmur dan megah, semegah Alexandria.

Pelabuhan itu sebenarnya adalah kota multikultural Quanzhou di tenggara Tiongkok, yang merupakan bagian dari Jalur Sutera Maritim (Maritime Silk Road) yang juga mencakup Selat Malaka.

Kapal-kapal dari Asia Tenggara, India, dan Irak berlabuh di Zaitun/Quanzhou setiap harinya, mengirimkan berton-ton gula dan bahan makanan ke Khanbalik.

Dari Quanzhou juga lah Mongol menyerang Kerajaan Singosari di tanah Jawa, yang ujungnya berbuah kegagalan.

Di bawah kepemimpinan Mongol, shülen tetap menjadi makanan utama, namun sering disesuaikan dengan cita rasa Tiongkok atau Persia sesuai selera.

Makanan penting lainnya adalah mie dan pasta. Mie ala Turki (tutmajh) disajikan dengan saus yoghurt dan bawang putih.

Sedangkan mie ala Tiongkok biasanya dibuat dari biji-bijian. Pasta seringnya dibentuk kotak seperti ravioli dan diisi daging dan lemak kambing.

Pengaruh Perso-Islamic ditunjukkan dengan banyaknya makanan-makanan bergula, seperti selai dan jeli.

Selain itu, bangsa Mongol juga senang meminum teh yang dicampur susu dan sedikit garam.

Ada kemungkinan bahwa kegemaran masyarakat Inggris meminum teh dengan susu berasal dari sini.

Setelah kejayaan yang berlangsung hingga nyaris seabad, kekaisaran Mongol mulai goyah di sekitar tahun 1330.

Akhirnya bangsa Mongol resmi meninggalkan Khanbalik di tahun 1368. Jejak kuliner mewah Mongol, Turki, dan Persia ikut lenyap di sebagian besar tanah Tiongkok. Yang tinggal hanyalah metode mengolah makanan menjadi manisan.

Namun, pengaruh kuliner Mongol masih terasa di wilayah lain.

Masyarakat Asia Tengah masih memasak dengan gaya Mongol-Islami, seperti dengan menggoreng dan merebus pangsit, menanak nasi dengan gaya pilau, membuat selai buah tin, dan lain-lain.

Di Tiongkok utara, Muslim Hui masih membuat sup daging kambing, mie kuah, dan roti mantou dengan bumbu minimalis.

Sedangkan di Rusia, masih disajikan pangsit bulat isi daging (pel’meni) yang mengambil inspirasi dari hasil perpaduan kuliner Mongol-Turki.

Dengan berakhirnya kekuasaan Mongol, berakhir pula lah dominasi kuliner nomaden dengan sentuhan Islami. Setelahnya, dominasi kuliner Islami selalu bersumber dari masyarakat yang menetap, terutama Turko-Islamic.

Tulisan disarikan dari Gana Islamika dengan judul Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (1): Perso-Islamic
dan Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (2): Pasca Invasi Mongol

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini